Story At Night (Part 3)


Author : Afif Nuur Hidayat

Part 3 : Seorang Teman
            Sudah 2 bulan Ria menjalani kehidupannya sebagai wanita normal. Bekerja selama delapan jam sehari dari pagi, merupakan pekerjaan yang layak untuk dirinya, apalagi gaji yang diterimanya sepadan atas apa yang dilakukannya selama ia bekerja.
            Terasa melelahkan memang. Tapi dibandingkan dengan pekerjaannya dulu, keringat yang keluar dari anggota badannya kali ini merupakan keringat perjuangan untuk memulai kehidupan yang lebih baik.
            Meski kini kehidupannya mulai normal, masih saja ada orang lain yang menganggap ia masih sama dengan dirinya yang dulu. Ia yang dianggap sebagai pelacur dan pemuas nafsu birahi para hidung belang. Hal ini tampak dari beberapa karyawan perusahaan yang masih tetap menggodanya walau entah itu sebagai godaan yang serius atau hanya ingin menyindir dirinya.
            Meski demikian, ia tetap mampu bertahan atas perlakuan yang dilakukan oleh sesama karyawan di tempat ia bekerja. Ia tak ingin perjuangannya selama ini akan sia-sia hanya karena penilaian dan peranggapan orang lain kepada dirinya. “Setidaknya itu yang mereka katakan, tetapi aku akan tetap meninggalkan dunia yang gelap itu,” begitulah prinsip Ria yang pernah ia katakan untuk menolak ajakan Henry kepada dirinya.
            “Hai, cantik. Maukah kau menemaniku malam ini? Mari kita berdansa dan bermabuk-mabukan bersama,” goda salah satu karyawan yang bekerja sebagai OB, Deni, sama seperti Ria.
            “Maaf, aku tidak lagi melakukannya.”
            “Jangan begitu. Aku akan membayarmu dan memuaskanmu.”
            “Maaf, sebaiknya kau urus pekerjaanmu dan berhenti menggodaku.”
            “Dasar kau, pelacur sok jual mahal!”
            Seperti itu kiranya ketika ia menanggapi godaan sesama karayawan di tempat ia bekerja. Deni memang sering menggoda dirinya. Tapi tetap saja, ia berpegang pada pendiriannya untuk keluar dari kehidupan masa lalu yang telah mencekik dirinya.
            Tak terkecuali selain Deni, Alex yang bekerja sebagai atasan Ria pun sering kali menggodanya untuk bersenang-senang. Tapi tetap saja hasilnya sama. Meski ia tahu Alex akan memberi imbalan yang tak kecil, tak membuatnya goyah pada pendirian yang telah ia bangun dengan kokoh.
            Penghasilan per bulan yang ia terima, cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, bahkan ia dapat menabung dari penghasilannya itu. Setidaknya ia dapat menebus motor matic miliknya yang beberapa bulan lalu ia gadai akibat tak memiliki biaya untuk mengisi perut kecilnya.
            Syukurlah ia memiliki Sino. Pria itulah yang mampu meyakinkan kepala bagian penerimaan lowongan kerja untuk menerima dirinya. Meski beberapa kali tetap menolak, dengan jaminan akan memberhentikan wanita itu apabila ia melakukan hal yang menunjukkan dirinya sebagai wanita penggoda, membuat perusahaan akhirnya menerimanya untuk bekerja.
            Tak jarang Sino sesekali menilik Ria yang sedang bekerja dan mengajaknya untuk makan bersama kala sedang break makan siang. Kedekatan Sino dengan Ria membuat beberapa karyawan bergeleng-geleng kepala. Bagaimana seorang Sino yang berjabatan sebagai Manager bagian Keuangan bergaul dengan OB yang juga sebagai bekas pelacur?
            “Sino, apa kau tak canggung bergaul dengan bekas pelacur itu?” tanya seorang rekan kerjanya yang diketahui bernama Ifan.
            “Semua orang dapat berubah. Dan ia menunjukkan bahwa ia serius untuk keluar dari dunia gelap yang dulu ia jalani.”
            “Bagaiman atas reputasimu? Bagaimana kau menanggapi omongan orang lain yang melihat kau bergaul dengan wanita itu?”
            “Itu kan penilaian mereka. Yang lebih tahu keadaanku adalah diriku sendiri.”
            “Kau selalu saja, memiliki pendirian yang kuat dan tak memperdulikan orang lain.”
            “Bukannya aku tak memperdulikan orang lain. Aku mengerti apa yang mereka katakan. Tapi ketahuilah, penilaian orang lain tak selamanya benar. Dan jika seseorang ingin berubah ke arah yang lebih baik, bukankah itu sesuatu yang perlu didukung.”
            “Kau mulai tertarik dengan wanita itu?” pertanyaan Ifan membuat suasana hening sekejap. Sino mulai memikirkannya dan mencoba menerka-nerka atas jawaban yang akan ia berikan. “Benarkah? Aku tertarik dengan Ria?” pikir Sino atas apa yang sekarang dirasakannya.
            “Jadi, kau tertarik dengannya?” tanya Ifan kembali
            “Seperinya tidak. Aku hanya mencoba membantunya mentas dari masa kelamnya, karena aku rasa sebagai orang yang mengenalnya, aku perlu melakukan hal itu.”
            “Tentu itu yang akan kau katakan. Karena seorang Sino tak mungkin memberikan hatinya kepada seorang wanita seperti Ria.”
            Perbincangan yang berlangsung beberapa menit itu membuat Sino benar-benar bingung atas apa yang dirasakannya saat ini. Apakah yang ia katakan sebagai seorang teman itu benar? Atau dugaan Ifanlah yang benar akan perasaan Sino terhadap Ria? Entahlah, Sino pun tak kunjung mendapati kebenaran akan dua kemungkinan tersebut.
            Kembali Sino memfokuskan pandangannya menuju layar komputer merampungkan pekerjaan yang ia tinggal sekejap tadi.
            Dilihatnya seorang wanita mengantarkan secangkir kopi ke tempat kerja Alex. Ia tampak mengikuti gerak-gerik wanita yang dikenalnya itu. Kaca yang membatasi ruang kerjanya dengan keadaan luar mampu membuatnya mengamati dengan jelas apa yang terjadi di ruang kerja karyawan lain, tak terkecuali Alex.
            Selesai wanita itu meletakkan secangkir kopi yang masih panas ke meja kerja Alex, ia hendak melangkahkan kakinya keluar ruangan sebelum ia terhenti akibat cengkraman tangan Alex ke lengan putih miliknya. Berlangsung perbincangan antara kedua orang tersebut yang tak mampu terdengar oleh telinga Sino akibat batas tempat kerja mereka. Tampak Ria mencoba melepaskan cengkraman Alex. Tapi hal itu malah membuat cengkraman pria itu semakin erat menggenggam lengannya. Terlihat Alex mencoba mendekatkan tubuh Ria ke arah tubunhya. Penampakan ini membuat Sino tampak kesal. Ia beranjak bangun dari tempat duduknya hendak menuju ke peristiwa itu terjadi.
            Baru ia sampai di balik pintu ruang kerjanya, terlihat seorang karyawan wanita lain yang memakai seragam serupa dengan Ria, menyusul menuju ruang kerja Alex. Sino yang alih-alih ingin menghentikan kejadian itu, kini mengamati apa yang wanita itu lakukan.
            Tampak wanita itu mencoba melepas cengkraman tangan Alex yang ditujukan ke arah Ria. Ia pun mengatakan suatu hal ke pria itu yang membuatnya kini benar-benar melepas cengkramannya. Ria bersama wanita itu kini keluar dari ruangan.
            Sino yang sedari tadi mengamati peristiwa itu mulai tenang dan kembali ke tempat ia duduk bekerja. Lega rasanya ketika melihat Ria dapat lepas dari kejadian itu.
            “Syukurlah ada yang membantu dirinya,” ucap Ifan yang juga mengamati peristiwa yang baru saja terjadi.
            “Kau pun melihatnya?”
            “Aku melihat kau mengamati sesuatu, dan aku penasaran apa yang sedang kau lihat.”
            “Apa kau tahu siapa yang datang menyusul Ria tadi?”
            “Ia Erna, karyawan baru disini. Aku dengar, ia memiliki latar belakang yang hampir sama dengan Ria.”
            “Begitu,” pungkas Sino
            Erna, karyawan baru yang bekerja sebagai OB, sama dengan Ria memiliki kehidupan yang bisa dibilang senasib dengannya. Setidaknya Erna lebih beruntung karena ia tak harus merasakan pedihnya kehidupan malam selama yang Ria pernah rasakan. Bisa dibilang ia juga terpaksa melakukan pekerjaan itu karena untuk mencukupi hidupnya yang sebatang kara setelah ditinggal suaminya yang ia nikahi saat berumur 19 tahun. Kehidupan keluarganya hanya bertahan dua tahun setelah suaminya terpincut kepada wanita lain yang ia temui saat bekerja di luar kota. Pernikahan yang tanpa restu dari orang tua mereka, membuat Erna tak kuasa menyimpan rasa bersalahnya dan memilih mencari kehidupan yang baru terlepas dari nasihat kedua orang tua yang dulu terabaikan. Sampai akhirnya ia bertemu dengan salah seorang teman masa kecilnya yang kini berprofesi sebagai wanita penghibur.
            Keterpaksaan akan hidup yang dideritanya membuat ia tak memiliki pilihan lain untuk mengikuti jejak temannya itu. Namun, meski ia telah menjalani profesi tersebut selama dua tahun, ia tak pernah merasa menikmati akan pekerjaannya. Yang ada hanya rasa kecewa dan penyesalan yang tak ada hentinya menyelubungi hati wanita tersebut.
            Kini, ia memilih meninggalkan pekerjaan yang telah mengantarkannya ke dunia gelap yang telah ia jalani. Ia tak mampu lagi menahan setiap rasa penyesalan yang muncul walaupun ia berusaha untuk mencoba menghilangkannya.
            “Apa yang telah ia lakukan padamu?”
            “Entahlah. Dia tiba-tiba melakukan hal itu. Syukurlah kau ada disini, terima kasih banyak.”
            “Sudahlah. Sebagai teman, pantaslah jika aku melakukan hal tersebut. Aku Erna.”
            Apa yang ia katakan? Seorang teman? Baru kali ini Ria mendengar kalimat itu muncul dari orang lain kepada dirinya. Sebelumnya, tak pernah ada seseorangpun yang mengatakan hal tersebut. Bahkan, para hidung belang yang sering ia layani, tak menganggapnya sebagai teman sama sekali. Namun kali ini, ia merasa sangat bahagia dalam hatinya setelah ia mendengar ucapan seseorang yang menganggapnya sebagai teman. Erna, ia adalah teman bagi Ria.
            “Aku Ria. Kau menganggapku teman? Kau serius?”
            “Oh. Senang berkenalan denganmu. Tentu, aku kini adalah temanmu. Apa kau tak senang?”
            “Bukan begitu. Justru aku sangat senang memiliki seorang teman.” Terlihat sebuah senyum terpoles di bibir indah Ria. Erna benar-benar serius menganggap Ria adalah temannya.
            “Kalau begitu, mohon kerjasamanya. Mari kita lanjutkan pekerjaan kita.”
            Erna kembali melanjutkan langkahnya ke ruangan dimana ia bekerja. Ria yang merasa sangat bahagia tampak masih berdiri mematung dan air mata kebahagiaannya tak mampu terbendung.
            “Kenapa kau masih diam disitu saja? Nanti kita akan dimarahi boss kalau kita tidak segera melanjutkan pekerjaan,” ucap Erna menyadarkan lamunan Ria.
            Ria mengusap pipinya yang tampak basah akibat air mata yang menetes dari matanya dengan kedua tangan dan kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat ia tinggalkan tadi.

            “Aku kini perlahan telah kembali ke dunia yang sebenarnya,” ujar Ria dalam hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasa yang Hilang

Untuk Engkau yang Kehilangan Jati Diri