Story At Night (Part 3)
Part
3 : Seorang Teman
Sudah 2 bulan
Ria menjalani kehidupannya sebagai wanita normal. Bekerja selama delapan jam
sehari dari pagi, merupakan pekerjaan yang layak untuk dirinya, apalagi gaji
yang diterimanya sepadan atas apa yang dilakukannya selama ia bekerja.
Terasa melelahkan memang. Tapi dibandingkan dengan
pekerjaannya dulu, keringat yang keluar dari anggota badannya kali ini
merupakan keringat perjuangan untuk memulai kehidupan yang lebih baik.
Meski kini kehidupannya mulai normal, masih saja ada
orang lain yang menganggap ia masih sama dengan dirinya yang dulu. Ia yang
dianggap sebagai pelacur dan pemuas nafsu birahi para hidung belang. Hal ini
tampak dari beberapa karyawan perusahaan yang masih tetap menggodanya walau
entah itu sebagai godaan yang serius atau hanya ingin menyindir dirinya.
Meski demikian, ia tetap mampu bertahan atas perlakuan
yang dilakukan oleh sesama karyawan di tempat ia bekerja. Ia tak ingin perjuangannya
selama ini akan sia-sia hanya karena penilaian dan peranggapan orang lain
kepada dirinya. “Setidaknya itu yang mereka katakan, tetapi aku akan tetap meninggalkan
dunia yang gelap itu,” begitulah prinsip Ria yang pernah ia katakan untuk
menolak ajakan Henry kepada dirinya.
“Hai, cantik. Maukah kau menemaniku malam ini? Mari kita
berdansa dan bermabuk-mabukan bersama,” goda salah satu karyawan yang bekerja
sebagai OB, Deni, sama seperti Ria.
“Maaf, aku tidak lagi melakukannya.”
“Jangan begitu. Aku akan membayarmu dan memuaskanmu.”
“Maaf, sebaiknya kau urus pekerjaanmu dan berhenti menggodaku.”
“Maaf, sebaiknya kau urus pekerjaanmu dan berhenti menggodaku.”
“Dasar kau, pelacur sok jual mahal!”
Seperti itu kiranya ketika ia menanggapi godaan sesama
karayawan di tempat ia bekerja. Deni memang sering menggoda dirinya. Tapi tetap
saja, ia berpegang pada pendiriannya untuk keluar dari kehidupan masa lalu yang
telah mencekik dirinya.
Tak terkecuali selain Deni, Alex yang bekerja sebagai
atasan Ria pun sering kali menggodanya untuk bersenang-senang. Tapi tetap saja
hasilnya sama. Meski ia tahu Alex akan memberi imbalan yang tak kecil, tak
membuatnya goyah pada pendirian yang telah ia bangun dengan kokoh.
Penghasilan per bulan yang ia terima, cukup untuk
memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, bahkan ia dapat menabung dari
penghasilannya itu. Setidaknya ia dapat menebus motor matic miliknya yang beberapa bulan lalu ia gadai akibat tak
memiliki biaya untuk mengisi perut kecilnya.
Syukurlah ia memiliki Sino. Pria itulah yang mampu
meyakinkan kepala bagian penerimaan lowongan kerja untuk menerima dirinya.
Meski beberapa kali tetap menolak, dengan jaminan akan memberhentikan wanita
itu apabila ia melakukan hal yang menunjukkan dirinya sebagai wanita penggoda,
membuat perusahaan akhirnya menerimanya untuk bekerja.
Tak jarang Sino sesekali menilik Ria yang sedang bekerja
dan mengajaknya untuk makan bersama kala sedang break makan siang. Kedekatan Sino dengan Ria membuat beberapa
karyawan bergeleng-geleng kepala. Bagaimana seorang Sino yang berjabatan
sebagai Manager bagian Keuangan bergaul dengan OB yang juga sebagai bekas pelacur?
“Sino, apa kau tak canggung bergaul dengan bekas pelacur itu?” tanya seorang rekan
kerjanya yang diketahui bernama Ifan.
“Semua orang dapat berubah. Dan ia menunjukkan bahwa ia
serius untuk keluar dari dunia gelap yang dulu ia jalani.”
“Bagaiman atas reputasimu? Bagaimana kau menanggapi omongan orang lain yang melihat kau bergaul dengan wanita itu?”
“Bagaiman atas reputasimu? Bagaimana kau menanggapi omongan orang lain yang melihat kau bergaul dengan wanita itu?”
“Itu kan penilaian mereka. Yang lebih tahu keadaanku
adalah diriku sendiri.”
“Kau selalu saja, memiliki pendirian yang kuat dan tak
memperdulikan orang lain.”
“Bukannya aku tak memperdulikan orang lain. Aku mengerti
apa yang mereka katakan. Tapi ketahuilah, penilaian orang lain tak selamanya
benar. Dan jika seseorang ingin berubah ke arah yang lebih baik, bukankah itu
sesuatu yang perlu didukung.”
“Kau mulai tertarik dengan wanita itu?” pertanyaan Ifan
membuat suasana hening sekejap. Sino mulai memikirkannya dan mencoba
menerka-nerka atas jawaban yang akan ia berikan. “Benarkah? Aku tertarik dengan
Ria?” pikir Sino atas apa yang sekarang dirasakannya.
“Jadi, kau tertarik dengannya?” tanya Ifan kembali
“Seperinya tidak. Aku hanya mencoba membantunya mentas dari masa kelamnya, karena aku
rasa sebagai orang yang mengenalnya, aku perlu melakukan hal itu.”
“Tentu itu yang akan kau katakan. Karena seorang Sino tak
mungkin memberikan hatinya kepada seorang wanita seperti Ria.”
Perbincangan yang berlangsung beberapa menit itu membuat
Sino benar-benar bingung atas apa yang dirasakannya saat ini. Apakah yang ia
katakan sebagai seorang teman itu
benar? Atau dugaan Ifanlah yang benar akan perasaan Sino terhadap Ria?
Entahlah, Sino pun tak kunjung mendapati kebenaran akan dua kemungkinan
tersebut.
Kembali Sino memfokuskan pandangannya menuju layar
komputer merampungkan pekerjaan yang ia tinggal sekejap tadi.
Dilihatnya seorang wanita mengantarkan secangkir kopi ke
tempat kerja Alex. Ia tampak mengikuti gerak-gerik wanita yang dikenalnya itu.
Kaca yang membatasi ruang kerjanya dengan keadaan luar mampu membuatnya
mengamati dengan jelas apa yang terjadi di ruang kerja karyawan lain, tak
terkecuali Alex.
Selesai wanita itu meletakkan secangkir kopi yang masih
panas ke meja kerja Alex, ia hendak melangkahkan kakinya keluar ruangan sebelum
ia terhenti akibat cengkraman tangan Alex ke lengan putih miliknya. Berlangsung
perbincangan antara kedua orang tersebut yang tak mampu terdengar oleh telinga
Sino akibat batas tempat kerja mereka. Tampak Ria mencoba melepaskan cengkraman
Alex. Tapi hal itu malah membuat cengkraman pria itu semakin erat menggenggam
lengannya. Terlihat Alex mencoba mendekatkan tubuh Ria ke arah tubunhya.
Penampakan ini membuat Sino tampak kesal. Ia beranjak bangun dari tempat
duduknya hendak menuju ke peristiwa itu terjadi.
Baru ia sampai di balik pintu ruang kerjanya, terlihat
seorang karyawan wanita lain yang memakai seragam serupa dengan Ria, menyusul
menuju ruang kerja Alex. Sino yang alih-alih ingin menghentikan kejadian itu,
kini mengamati apa yang wanita itu lakukan.
Tampak wanita itu mencoba melepas cengkraman tangan Alex
yang ditujukan ke arah Ria. Ia pun mengatakan suatu hal ke pria itu yang
membuatnya kini benar-benar melepas cengkramannya. Ria bersama wanita itu kini
keluar dari ruangan.
Sino yang sedari tadi mengamati peristiwa itu mulai
tenang dan kembali ke tempat ia duduk bekerja. Lega rasanya ketika melihat Ria
dapat lepas dari kejadian itu.
“Syukurlah ada yang membantu dirinya,” ucap Ifan yang
juga mengamati peristiwa yang baru saja terjadi.
“Kau pun melihatnya?”
“Aku melihat kau mengamati sesuatu, dan aku penasaran apa
yang sedang kau lihat.”
“Apa kau tahu siapa yang datang menyusul Ria tadi?”
“Ia Erna, karyawan baru disini. Aku dengar, ia memiliki
latar belakang yang hampir sama dengan Ria.”
“Begitu,” pungkas Sino
Erna, karyawan baru yang bekerja sebagai OB, sama dengan
Ria memiliki kehidupan yang bisa dibilang senasib dengannya. Setidaknya Erna
lebih beruntung karena ia tak harus merasakan pedihnya kehidupan malam selama
yang Ria pernah rasakan. Bisa dibilang ia juga terpaksa melakukan pekerjaan itu
karena untuk mencukupi hidupnya yang sebatang kara setelah ditinggal suaminya
yang ia nikahi saat berumur 19 tahun. Kehidupan keluarganya hanya bertahan dua
tahun setelah suaminya terpincut kepada wanita lain yang ia temui saat bekerja
di luar kota. Pernikahan yang tanpa restu dari orang tua mereka, membuat Erna
tak kuasa menyimpan rasa bersalahnya dan memilih mencari kehidupan yang baru
terlepas dari nasihat kedua orang tua yang dulu terabaikan. Sampai akhirnya ia
bertemu dengan salah seorang teman masa kecilnya yang kini berprofesi sebagai
wanita penghibur.
Keterpaksaan akan hidup yang dideritanya membuat ia tak
memiliki pilihan lain untuk mengikuti jejak temannya itu. Namun, meski ia telah
menjalani profesi tersebut selama dua tahun, ia tak pernah merasa menikmati
akan pekerjaannya. Yang ada hanya rasa kecewa dan penyesalan yang tak ada
hentinya menyelubungi hati wanita tersebut.
Kini, ia memilih meninggalkan pekerjaan yang telah
mengantarkannya ke dunia gelap yang telah ia jalani. Ia tak mampu lagi menahan
setiap rasa penyesalan yang muncul walaupun ia berusaha untuk mencoba
menghilangkannya.
“Apa yang telah ia lakukan padamu?”
“Entahlah. Dia tiba-tiba melakukan hal itu. Syukurlah kau
ada disini, terima kasih banyak.”
“Sudahlah. Sebagai teman, pantaslah jika aku melakukan
hal tersebut. Aku Erna.”
Apa yang ia katakan? Seorang teman? Baru kali ini Ria
mendengar kalimat itu muncul dari orang lain kepada dirinya. Sebelumnya, tak
pernah ada seseorangpun yang mengatakan hal tersebut. Bahkan, para hidung
belang yang sering ia layani, tak menganggapnya sebagai teman sama sekali.
Namun kali ini, ia merasa sangat bahagia dalam hatinya setelah ia mendengar
ucapan seseorang yang menganggapnya sebagai teman. Erna, ia adalah teman bagi
Ria.
“Aku Ria. Kau menganggapku teman? Kau serius?”
“Oh. Senang berkenalan denganmu. Tentu, aku kini adalah temanmu. Apa kau tak senang?”
“Oh. Senang berkenalan denganmu. Tentu, aku kini adalah temanmu. Apa kau tak senang?”
“Bukan begitu. Justru aku sangat senang memiliki seorang
teman.” Terlihat sebuah senyum terpoles di bibir indah Ria. Erna benar-benar
serius menganggap Ria adalah temannya.
“Kalau begitu, mohon kerjasamanya. Mari kita lanjutkan
pekerjaan kita.”
Erna kembali melanjutkan langkahnya ke ruangan dimana ia
bekerja. Ria yang merasa sangat bahagia tampak masih berdiri mematung dan air
mata kebahagiaannya tak mampu terbendung.
“Kenapa kau masih diam disitu saja? Nanti kita akan
dimarahi boss kalau kita tidak segera
melanjutkan pekerjaan,” ucap Erna menyadarkan lamunan Ria.
Ria mengusap pipinya yang tampak basah akibat air mata
yang menetes dari matanya dengan kedua tangan dan kembali melanjutkan pekerjaan
yang sempat ia tinggalkan tadi.
“Aku kini perlahan telah kembali ke dunia yang
sebenarnya,” ujar Ria dalam hati.
Komentar
Posting Komentar