Story At Night (Part 1)
Part
1 : Pertemuan
Ketika
hidup menghadirkan sebuah kesulitan, memaksa setiap insan untuk membuat
keputusan tentang jalan hidup yang mereka pilih. Entah itu tuntutan atau sebuah
kepasrahan dengan tidak adanya jalan lain, atau memang mereka tak melihat
kehadiran kesempatan-kesempatan lain yang tercecer di sekeliling mereka. Tak
benar memang sepenuhnya menyalahkan mereka yang salah dalam mengambil langkah.
Karena hiduplah yang membuat mereka menjalani suatu ironi tentang kesengsaraan.
Malam itu, di sebuah klub malam yang tak jauh dari pusat
kota, bergelimang hidung belang dengan pelacur-pelacur yang siap melayani
mereka sepanjang pancaran sinar rembulan. Entah, yang dipikirkan pelacur itu
untuk menyambung hidup atau memang mereka menikmati dan senang dengan jalan
hidup yang mereka jalani itu. Tak terlihat dari kilau mata mereka menunjukkan
sebuah rasa yang berat. Rasa yang amat mendasar sebagai wanita ketika ia
ternoda oleh lelaki yang bukan pasangannya dan kebanyakan telah memiliki
pasangan hidup mereka masing-masing. Rasa yang lebih tepatnya sebuah keterpaksaan. Karena sejatinya seorang
manusia amat ideal memiliki satu pasangan sejati untuk menemaninya hidup. Dan
kali ini, rasa itu tak tampak oleh kesenangan surga dunia.
Kilauan lampu disco berkelap-kelip dan musik yang
disajikan Disc Jokey membuat tubuh sintal perempuan-perempuan malam untuk
bergoyang. Hasrat normal para lelaki menuntunnya untuk mengikuti setiap gerakan
pinggul yang kadang menyajikan sebuah goyangan sensasional.
Berbeda dengan lelaki lain yang berada di klub malam itu,
Sino tampak duduk termenung sendiri ditemani sebotol beer dingin yang
memabukkan. Rasa depresi yang begitu besar diperlihatkannya dengan gelas yang
terisi beer itu selalu habis walau baru sekejap tadi ia tuang. Kini, sebotol
beer itu sudah benar-benar habis. Tampak ia sangat kesal dan mencoba membanting
botol beer kosong itu.
Suara pecahan botol kaca yang terdengar nyaring meski tak
mampu mengalahkan suara musik dari DJ klub itu, membuat Ria yang sedari tadi
duduk di kursi yang tak jauh dari tempat Sino berada, mengalihkan perhatiannya
ke arah lelaki itu. Dihampirinya lelaki berpakaian jas kantor yang masih
lengkap dengan sepatu dan tas yang kerap kali orang yang bepekerjaan di jabatan
tinggi sebuah perusahaan gunakan.
“Hey, namaku Ria. Sendirian aja?” Ria membuka pembicaraan
sembari berharap dapat mengetahui suasana hati seorang pegawai kantor itu.
“Apa kau lihat aku bersama orang lain disini?” jawab Sino
dengan sinis.
“Tidak. Kulihat kau membanting sebuah botol beer tadi.
Apa yang terjadi?”
“Urus dirimu sendiri. Tak perlu kau mengurusi urusan
orang lain.”
“Perlu diketahui, disini adalah tempat orang-orang bersenang-senang.
Mungkin keadaanmu tak pantas berada disini saat ini. Jika kau ingin
bersenang-senang atau kau membutuhkan teman, kau bisa mengajakku. Aku selalu
disini hampir setiap malam.”
Ria yang tak dapat menguasai keadaan, perlahan bangkit
dari duduknya. Mencoba meninggalkan Sino yang tampak sangat depresi saat itu.
Perlahan ia mulai menjauh ke kerumunan pengunjung yang sedang bergoyang dengan
iringan musik DJ. Tak jauh langkah ia berjalan, suara seorang lelaki yang
pernah didengarnya belum lama ini, mencoba memanggil ke arahnya.
“Hey! Dapatkah kau menemaniku mengobrol sebentar?” ujar
Sino
“Kenapa tak kau katakan sedari tadi? Tentu aku mau
menemanimu,” jawabnya
Tawaran yang Sino ajukan kepadanya, membuatnya berhenti
melangkah dan berbalik arah. Ia alunkan kakinya lagi menuju sumber suara yang
baru saja memanggilnya. Dengan langkah yang pelan dan pinggulnya yang tampak
naik turun mengikuti langkah kakinya, Ria menghampiri Sino kembali.
Duduklah mereka berdua di tempat yang sama saat tadi
pertama kali mereka bertemu. Kali ini, tampak Sino menerima kehadiran Ria di
dekatnya. Dengan beer dingin yang kembali disajikan, mereka tampak telah dapat
mengendalikan suasana.
“Adakah sesuatu yang ingin kau katakan?”
“Iya. Maaf telah mengabaikanmu tadi. Kenalin, aku Sino.
Aku bekerja di perusahaan tak jauh dari sini.”
“Oh, beruntung pemuda sepertimu mendapatkan pekerjaan yang
layak. Apa kau baru pertama kali ke sini? Pasalnya, sebelumnya aku tak pernah
melihatmu.”
“Begitulah. Aku sedang ada masalah dengan pekerjaan.
Keadaan ini membuatku frustasi. Dan aku rasa, dengan aku datang kemari, aku
dapat menenangkan pikiranku.”
“Kau tampak sebagai pemuda yang baik. Dan alasan yang
kurang pas yang membuatmu memilih datang ke tempat seperti ini.”
“Mungkin kau benar. Kau sendiri? Mengapa kau memilih
menjadi sekarang ini?”
“Entahlah. Aku senang dengan keadaanku saat ini.”
“Kurasa, kau tidak melakukan ini dengan sepenuh hati.
Jelas terlihat ada rasa keterpaksaan di matamu.”
Mendengar ucapan Sino, keadaan menjadi hening. Ria tampak
diam dan merunduk enggan menatap mata Sino. Mereka berdua tak lekas melanjutkan
percakapan yang sedang terjadi.
“Kau tak tahu apa-apa tentangku. Dan tak sebaiknya kau
berkata seperti itu,” ucap Ria memecah keheningan.
Ria yang tampak menunjukkan rasa tak senang terhadap
ucapan Sino, beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Sino seorang diri
kembali. Sino yang merasa bersalah karena telah mengucapkan perkataan yang
melukai Ria, hanya diam dan tak kuasa untuk menyusulnya.
---------------------
Sekarang ini, masalah pekerjaan Sino mulai membaik. Dan
tampak depresi yang dirasakannya mulai menghilang. Tatkala ia mendapati kabar
bahwa atasannya kembali memberikan nilai plus kepada karyawannya itu, artinya
ia masih dipercaya untuk meneruskan tugasnya setelah 2 minggu keadaan sulit
yang dibebankan pada Sino telah teratasi.
Tugas kerja yang menumpuk, memaksa hari ini Sino harus
bekerja lembur di kantor. Lelah yang menimpanya, membuat ia tak langsung pulang
menuju rumah. Ia mencoba menghilangkan lelahnya dengan datang ke klub malam
yang 2 minggu lalu ia kunjungi.
Kembali ia duduk sendiri, bedanya ia kali ini datang
dengan suasana hati yang cerah tak seperti saat yang lalu. Dengan beer yang
disandingnya, ia kali ini menikmati dingin yang memabukkan dari beer itu dengan
santai.
Dilihatnya dari tengah kerumunan pengunjung yang sedang
bergoyang diiringi musik DJ, ia melihat wanita yang pernah ia temui 2 minggu
yang lalu saat ia pertama kali mengunjungi klub malam itu. Tampak Ria sedang
bergoyang ditemani salah seorang pria yang berusia sepadan dengan ayahnya yang
kira-kira berusia 50an tahun, tampak pria itu bergoyang dengan sangat bergairah
dan sesekali menyenggolkan tubunhnya dengan sengaja ke bagian sensitif dari
wanita itu.
Lama ia memperhatikan Ria dan lelaki tua itu bergoyang,
dan kali ini mereka berdua berhenti dan duduk di samping bar yang tak jauh darinya.
Meski tak terlalu jauh, tapi mereka berdua tak akan dapat melihat kehadiran
Sino karena ia berada di sudut yang berbeda dengan tempat mereka berdua berada.
Terlihat mereka berdua berbincang-bincang dengan mesra dan tak jarang Ria
bergelandutan ke pria itu. Entah apa yang dibicarakan mereka berdua, hingga
mereka akhirnya beranjak pergi dari tempat duduknya dan melangkah meninggalkan
klub malam itu.
Ria tampak masuk ke dalam mobil Sedan yang telah terpakir
di dekat klub tersebut dengan dituntun oleh pria tua yang bersama Ria sedari
tadi. Sino yang penasaran dengan kehidupan pelacur itu pun mengikuti dari
kejauhan kemana mereka berdua pergi.
Tibalah
mereka di sebuah rumah kecil yang berjarak kurang lebih 500 meter dari klub
malam tempat ia berada tadi. Masuklah mereka berdua ke dalam rumah itu. Rumah
berukuran kecil dengan halaman yang cukup besar itu membuat Sino mudah
mengintai apa yang akan mereka lakukan di dalam.
Sino mengendap-endap dengan hati-hati berharap tak akan
ketahuan menuju ke samping rumah. Didapati kedua orang itu berjalan menuju ke
sebuah kamar yang tak begitu besar dengan ranjang berukuran sedang, lemari, dan
meja hias di dalamnya.
Mereka berdua mulai berpagutan dengan mesra dan saling
berciuman dengan penuh gairah. Perlahan baju yang dikenakan mereka berdua mulai
ditanggalkan. Kini mereka tampak telanjang tanpa sehelai benang pun menutupi
tubuh mereka. Sino yang mulai terangsang, mencoba menahan gejolak birahi yang
dirasakannya saat ini. Sino memutuskan untuk tidak melihat apa yang terjadi di
dalam kamar meski suara erangan dan desahan dua intim yang sedang bercinta itu
terdengar sampai ke telinganya. Hampir semalam penuh ia menunggu mereka berdua,
sampai-sampai ia pun tertidur dengan bersandar dinding samping rumah. Ia
terbangun setelah dikagetkan oleh suara mobil dari depan rumah.
Jam menunjukkan pukul 3 pagi, tampak pria itu masuk ke
dalam Sedan miliknya dan Ria mengantarkannya yang hendak pergi sampai ke
halaman rumah. Mobil sedan itu beranjak menjauh pergi dari rumah yang Ria tempati.
Ria kembali masuk ke dalam presinggahannya. Sino yang masih berada di samping
rumah, mengintai ke dalam kamar kembali. Tampak Ria duduk termenung di tempat
tidur. Tak lama kemudian, air mata keluar dari kedua kelopak matanya. Ia tak
mampu membendungnya hingga sesekali ia sesenggukan.
“Apa yang terjadi sebenarnya?” gumam Sino dalam hati.
Sino yang tak mau ulahnya ini kepergok, meninggalkan
rumah Ria dan kembali ke dalam mobilnya yang diparkir agak jauh dari rumah
wanita itu agar tak menimbulkan kecurigaan. Masih melintas di pikirannya apa
yang terjadi dengan Ria? Mengapa setelah melakukan hal itu, ia malah menangis?
Bukan gembira seperti pelacur pada umumnya?
Esok hari, adalah hari Sabtu. Sino tak khawatir apabila
ia akan bangun kesiangan esok. Ia mulai mengendarai mobilnya melintasi jalan
raya yang menuntunnya ke kekediaman pribadinya.
Sino hidup sendiri. Hanya ditemani pembantu dan securitynya. Orang tuanya hidup bersama
kakaknya yang telah berkeluarga di kota yang berbeda dengannya. Dibukakannya
gerbang rumah oleh Pak Jono, security yang
bekerja di rumahnya.
“Kok baru pulang, tuan?”
“Iya nih, pak. Kerjaan banyak banget dan ketiduran juga
di kantor.”
Sino yang tampak kelelahan berganti pakaian dan
merebahkan dirinya untuk tidur. Sebelum ia memejamkan matanya, ia sempat
memikirkan pelacur yang membuatnya tertarik, Ria. Entah apa yang dirasakan Sino
hingga ia rela mengikuti apa yang pelacur itu lakukan dengan pelanggannya malam
tadi. Tapi yang membuat Sino benar-benar penasaran, kenapa Ria menangis,
bukannya gembira? Ah, rasa penasaran Sino itu perlahan digantikan oleh rasa
kantuk yang tak dapat lagi ia tahan.
Keesokan malamnya, ia memutuskan kembali mengunjungi klub
malam tempat Ria biasa berada. Setiba ia disana, tak didapatinya pelacur bernama
Ria itu terlihat. Setengah jam Sino memandangi seisi klub itu, tapi yang
didapatinya tetap nihil.
Ia memutuskan untuk keluar dari klub dan menaiki
mobilnya. Kali ini ia memberanikan diri untuk mengunjungi kediaman Ria dengan
harapan rasa penasaran itu dapat terjawabkan.
Sesampai disana, terlihat amat sepi. Hanya sepeda motor
matic yang terparkir di depan rumah. Sino memencet bel yang tertempel di
dinding dekat pintu. Tampak seorang wanita sebaya dengannya keluar.
“Kamu? Kenapa bisa kesini?” tanya Ria yang heran dengan
kehadiran Sino
“Aku ingin menanyakan suatu hal kepadamu.”
“Apa yang ingin kau tanyakan kepada wanita jalang
sepertiku ini?”
“Bisakah kita bicarakan ini di dalam?”
Mereka berdua masuk ke dalam rumah setelah Ria menyetujui
tawaran Sino untuk membicarakan hal yang masih menjadi tanda tanya baginya. Ia
pikir Sino datang menemuinya bukan untuk mengajaknya berkencan dan
bersenang-senang. Karena ia rasa, Sino berbeda dengan para hidung belang yang
ditemuinya. Sikapnya yang peduli dan tahu apa yang sebenarnya ia rasakan,
menunjukkan perbedaan antara dirinya dengan pria tua yang dipanggilnya Om Henry
yang sering memintanya untuk melayani nafsu birahi pria itu.
“Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Apakah kau menjalani kehidupanmu dengan senang hati?”
“Tentu. Jika tidak, aku enggan untuk menjalani
pekerjaanku sebagai pemuas nafsu para hidung belang.”
“Benarkah?”
“Maksudmu?”
“Aku mendapatimu menangis setelah kau berhibungan intim
dengan pria tua kemarin.”
“Apa yang kau lakukan?! Kau mengintipku? Lancang kau!
Sebaiknya kau pergi dari sini, bajingan!”
“Aku bisa menjelaskan semuanya.”
“Aku tak butuh alasanmu! Dasar kau bajingan!”
Ria yang tampak kesal dengan pengakuan Sino, terus
menerus mengusirnya untuk keluar. Ia tampak telah terlecehkan, bahkan
sebenarnya ia sudah terbiasa terlecehkan karena pekerjaannya sebagai pelacur.
Tapi kali ini, ia tak percaya bahwa Sino melakukan hal yang lancang dengan
membuntuti dirinya yang kala itu sedang bersama dengan pria yang membutuhkan jasanya.
Sino yang merasa tak dapat meyakinkan Ria bahwa ia
memiliki alasan mengapa ia melakukan hal itu, memilih untuk menuruti kata-kata
Ria dan berjalan keluar rumah. Ia pun masuk ke dalam mobilnya dan pergi menjauh
dari rumah pelacur itu.
Tampak kesedihan dan kekecewaan yang dirasakan oleh Ria.
Ia tanpa daya terkulai lemas dan mengeluarkan air matanya. Sino, yang
dipercayanya sebagai pria yang berbeda dari pria lain yang dikenalnya di masa
lalunya yang suram, ternyata berani berbuat hal lancang sedemikian. Tak tahukah
Sino, bahwa ia yang membuatnya kini hendak meninggalkan dunia gelap yang
dijalaninya saat ini? Ia yang membuatnya memiliki kepercayaan lagi bahwa tak
semua lelaki selalu merendahkan wanita. Tapi, apa yang didapatnya? Ternyata semua
pria sama, benar-benar bajingan.
Komentar
Posting Komentar