Story At Night (Part 1)


Author : Afif Nuur Hidayat



Part 1 : Pertemuan
Ketika hidup menghadirkan sebuah kesulitan, memaksa setiap insan untuk membuat keputusan tentang jalan hidup yang mereka pilih. Entah itu tuntutan atau sebuah kepasrahan dengan tidak adanya jalan lain, atau memang mereka tak melihat kehadiran kesempatan-kesempatan lain yang tercecer di sekeliling mereka. Tak benar memang sepenuhnya menyalahkan mereka yang salah dalam mengambil langkah. Karena hiduplah yang membuat mereka menjalani suatu ironi tentang kesengsaraan.
            Malam itu, di sebuah klub malam yang tak jauh dari pusat kota, bergelimang hidung belang dengan pelacur-pelacur yang siap melayani mereka sepanjang pancaran sinar rembulan. Entah, yang dipikirkan pelacur itu untuk menyambung hidup atau memang mereka menikmati dan senang dengan jalan hidup yang mereka jalani itu. Tak terlihat dari kilau mata mereka menunjukkan sebuah rasa yang berat. Rasa yang amat mendasar sebagai wanita ketika ia ternoda oleh lelaki yang bukan pasangannya dan kebanyakan telah memiliki pasangan hidup mereka masing-masing. Rasa yang lebih tepatnya sebuah keterpaksaan. Karena sejatinya seorang manusia amat ideal memiliki satu pasangan sejati untuk menemaninya hidup. Dan kali ini, rasa itu tak tampak oleh kesenangan surga dunia.
            Kilauan lampu disco berkelap-kelip dan musik yang disajikan Disc Jokey membuat tubuh sintal perempuan-perempuan malam untuk bergoyang. Hasrat normal para lelaki menuntunnya untuk mengikuti setiap gerakan pinggul yang kadang menyajikan sebuah goyangan sensasional.
            Berbeda dengan lelaki lain yang berada di klub malam itu, Sino tampak duduk termenung sendiri ditemani sebotol beer dingin yang memabukkan. Rasa depresi yang begitu besar diperlihatkannya dengan gelas yang terisi beer itu selalu habis walau baru sekejap tadi ia tuang. Kini, sebotol beer itu sudah benar-benar habis. Tampak ia sangat kesal dan mencoba membanting botol beer kosong itu.
            Suara pecahan botol kaca yang terdengar nyaring meski tak mampu mengalahkan suara musik dari DJ klub itu, membuat Ria yang sedari tadi duduk di kursi yang tak jauh dari tempat Sino berada, mengalihkan perhatiannya ke arah lelaki itu. Dihampirinya lelaki berpakaian jas kantor yang masih lengkap dengan sepatu dan tas yang kerap kali orang yang bepekerjaan di jabatan tinggi sebuah perusahaan gunakan.
            “Hey, namaku Ria. Sendirian aja?” Ria membuka pembicaraan sembari berharap dapat mengetahui suasana hati seorang pegawai kantor itu.
            “Apa kau lihat aku bersama orang lain disini?” jawab Sino dengan sinis.
            “Tidak. Kulihat kau membanting sebuah botol beer tadi. Apa yang terjadi?”
            “Urus dirimu sendiri. Tak perlu kau mengurusi urusan orang lain.”
            “Perlu diketahui, disini adalah tempat orang-orang bersenang-senang. Mungkin keadaanmu tak pantas berada disini saat ini. Jika kau ingin bersenang-senang atau kau membutuhkan teman, kau bisa mengajakku. Aku selalu disini hampir setiap malam.”
            Ria yang tak dapat menguasai keadaan, perlahan bangkit dari duduknya. Mencoba meninggalkan Sino yang tampak sangat depresi saat itu. Perlahan ia mulai menjauh ke kerumunan pengunjung yang sedang bergoyang dengan iringan musik DJ. Tak jauh langkah ia berjalan, suara seorang lelaki yang pernah didengarnya belum lama ini, mencoba memanggil ke arahnya.
            “Hey! Dapatkah kau menemaniku mengobrol sebentar?” ujar Sino
            “Kenapa tak kau katakan sedari tadi? Tentu aku mau menemanimu,” jawabnya
            Tawaran yang Sino ajukan kepadanya, membuatnya berhenti melangkah dan berbalik arah. Ia alunkan kakinya lagi menuju sumber suara yang baru saja memanggilnya. Dengan langkah yang pelan dan pinggulnya yang tampak naik turun mengikuti langkah kakinya, Ria menghampiri Sino kembali.
            Duduklah mereka berdua di tempat yang sama saat tadi pertama kali mereka bertemu. Kali ini, tampak Sino menerima kehadiran Ria di dekatnya. Dengan beer dingin yang kembali disajikan, mereka tampak telah dapat mengendalikan suasana.
            “Adakah sesuatu yang ingin kau katakan?”
            “Iya. Maaf telah mengabaikanmu tadi. Kenalin, aku Sino. Aku bekerja di perusahaan tak jauh dari sini.”
            “Oh, beruntung pemuda sepertimu mendapatkan pekerjaan yang layak. Apa kau baru pertama kali ke sini? Pasalnya, sebelumnya aku tak pernah melihatmu.”
            “Begitulah. Aku sedang ada masalah dengan pekerjaan. Keadaan ini membuatku frustasi. Dan aku rasa, dengan aku datang kemari, aku dapat menenangkan pikiranku.”
            “Kau tampak sebagai pemuda yang baik. Dan alasan yang kurang pas yang membuatmu memilih datang ke tempat seperti ini.”
            “Mungkin kau benar. Kau sendiri? Mengapa kau memilih menjadi sekarang ini?”
            “Entahlah. Aku senang dengan keadaanku saat ini.”
            “Kurasa, kau tidak melakukan ini dengan sepenuh hati. Jelas terlihat ada rasa keterpaksaan di matamu.”
            Mendengar ucapan Sino, keadaan menjadi hening. Ria tampak diam dan merunduk enggan menatap mata Sino. Mereka berdua tak lekas melanjutkan percakapan yang sedang terjadi.
            “Kau tak tahu apa-apa tentangku. Dan tak sebaiknya kau berkata seperti itu,” ucap Ria memecah keheningan.
            Ria yang tampak menunjukkan rasa tak senang terhadap ucapan Sino, beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Sino seorang diri kembali. Sino yang merasa bersalah karena telah mengucapkan perkataan yang melukai Ria, hanya diam dan tak kuasa untuk menyusulnya.

---------------------

            Sekarang ini, masalah pekerjaan Sino mulai membaik. Dan tampak depresi yang dirasakannya mulai menghilang. Tatkala ia mendapati kabar bahwa atasannya kembali memberikan nilai plus kepada karyawannya itu, artinya ia masih dipercaya untuk meneruskan tugasnya setelah 2 minggu keadaan sulit yang dibebankan pada Sino telah teratasi.
            Tugas kerja yang menumpuk, memaksa hari ini Sino harus bekerja lembur di kantor. Lelah yang menimpanya, membuat ia tak langsung pulang menuju rumah. Ia mencoba menghilangkan lelahnya dengan datang ke klub malam yang 2 minggu lalu ia kunjungi.
            Kembali ia duduk sendiri, bedanya ia kali ini datang dengan suasana hati yang cerah tak seperti saat yang lalu. Dengan beer yang disandingnya, ia kali ini menikmati dingin yang memabukkan dari beer itu dengan santai.
            Dilihatnya dari tengah kerumunan pengunjung yang sedang bergoyang diiringi musik DJ, ia melihat wanita yang pernah ia temui 2 minggu yang lalu saat ia pertama kali mengunjungi klub malam itu. Tampak Ria sedang bergoyang ditemani salah seorang pria yang berusia sepadan dengan ayahnya yang kira-kira berusia 50an tahun, tampak pria itu bergoyang dengan sangat bergairah dan sesekali menyenggolkan tubunhnya dengan sengaja ke bagian sensitif dari wanita itu.
            Lama ia memperhatikan Ria dan lelaki tua itu bergoyang, dan kali ini mereka berdua berhenti dan duduk di samping bar yang tak jauh darinya. Meski tak terlalu jauh, tapi mereka berdua tak akan dapat melihat kehadiran Sino karena ia berada di sudut yang berbeda dengan tempat mereka berdua berada. Terlihat mereka berdua berbincang-bincang dengan mesra dan tak jarang Ria bergelandutan ke pria itu. Entah apa yang dibicarakan mereka berdua, hingga mereka akhirnya beranjak pergi dari tempat duduknya dan melangkah meninggalkan klub malam itu.
            Ria tampak masuk ke dalam mobil Sedan yang telah terpakir di dekat klub tersebut dengan dituntun oleh pria tua yang bersama Ria sedari tadi. Sino yang penasaran dengan kehidupan pelacur itu pun mengikuti dari kejauhan kemana mereka berdua pergi.
Tibalah mereka di sebuah rumah kecil yang berjarak kurang lebih 500 meter dari klub malam tempat ia berada tadi. Masuklah mereka berdua ke dalam rumah itu. Rumah berukuran kecil dengan halaman yang cukup besar itu membuat Sino mudah mengintai apa yang akan mereka lakukan di dalam.
            Sino mengendap-endap dengan hati-hati berharap tak akan ketahuan menuju ke samping rumah. Didapati kedua orang itu berjalan menuju ke sebuah kamar yang tak begitu besar dengan ranjang berukuran sedang, lemari, dan meja hias di dalamnya.
            Mereka berdua mulai berpagutan dengan mesra dan saling berciuman dengan penuh gairah. Perlahan baju yang dikenakan mereka berdua mulai ditanggalkan. Kini mereka tampak telanjang tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh mereka. Sino yang mulai terangsang, mencoba menahan gejolak birahi yang dirasakannya saat ini. Sino memutuskan untuk tidak melihat apa yang terjadi di dalam kamar meski suara erangan dan desahan dua intim yang sedang bercinta itu terdengar sampai ke telinganya. Hampir semalam penuh ia menunggu mereka berdua, sampai-sampai ia pun tertidur dengan bersandar dinding samping rumah. Ia terbangun setelah dikagetkan oleh suara mobil dari depan rumah.
            Jam menunjukkan pukul 3 pagi, tampak pria itu masuk ke dalam Sedan miliknya dan Ria mengantarkannya yang hendak pergi sampai ke halaman rumah. Mobil sedan itu beranjak menjauh pergi dari rumah yang Ria tempati. Ria kembali masuk ke dalam presinggahannya. Sino yang masih berada di samping rumah, mengintai ke dalam kamar kembali. Tampak Ria duduk termenung di tempat tidur. Tak lama kemudian, air mata keluar dari kedua kelopak matanya. Ia tak mampu membendungnya hingga sesekali ia sesenggukan.
            “Apa yang terjadi sebenarnya?” gumam Sino dalam hati.
            Sino yang tak mau ulahnya ini kepergok, meninggalkan rumah Ria dan kembali ke dalam mobilnya yang diparkir agak jauh dari rumah wanita itu agar tak menimbulkan kecurigaan. Masih melintas di pikirannya apa yang terjadi dengan Ria? Mengapa setelah melakukan hal itu, ia malah menangis? Bukan gembira seperti pelacur pada umumnya?
            Esok hari, adalah hari Sabtu. Sino tak khawatir apabila ia akan bangun kesiangan esok. Ia mulai mengendarai mobilnya melintasi jalan raya yang menuntunnya ke kekediaman pribadinya.
            Sino hidup sendiri. Hanya ditemani pembantu dan securitynya. Orang tuanya hidup bersama kakaknya yang telah berkeluarga di kota yang berbeda dengannya. Dibukakannya gerbang rumah oleh Pak Jono, security yang bekerja di rumahnya.
            “Kok baru pulang, tuan?”
            “Iya nih, pak. Kerjaan banyak banget dan ketiduran juga di kantor.”
            Sino yang tampak kelelahan berganti pakaian dan merebahkan dirinya untuk tidur. Sebelum ia memejamkan matanya, ia sempat memikirkan pelacur yang membuatnya tertarik, Ria. Entah apa yang dirasakan Sino hingga ia rela mengikuti apa yang pelacur itu lakukan dengan pelanggannya malam tadi. Tapi yang membuat Sino benar-benar penasaran, kenapa Ria menangis, bukannya gembira? Ah, rasa penasaran Sino itu perlahan digantikan oleh rasa kantuk yang tak dapat lagi ia tahan.
            Keesokan malamnya, ia memutuskan kembali mengunjungi klub malam tempat Ria biasa berada. Setiba ia disana, tak didapatinya pelacur bernama Ria itu terlihat. Setengah jam Sino memandangi seisi klub itu, tapi yang didapatinya tetap nihil.
            Ia memutuskan untuk keluar dari klub dan menaiki mobilnya. Kali ini ia memberanikan diri untuk mengunjungi kediaman Ria dengan harapan rasa penasaran itu dapat terjawabkan.
            Sesampai disana, terlihat amat sepi. Hanya sepeda motor matic yang terparkir di depan rumah. Sino memencet bel yang tertempel di dinding dekat pintu. Tampak seorang wanita sebaya dengannya keluar.
            “Kamu? Kenapa bisa kesini?” tanya Ria yang heran dengan kehadiran Sino
            “Aku ingin menanyakan suatu hal kepadamu.”
            “Apa yang ingin kau tanyakan kepada wanita jalang sepertiku ini?”
            “Bisakah kita bicarakan ini di dalam?”
            Mereka berdua masuk ke dalam rumah setelah Ria menyetujui tawaran Sino untuk membicarakan hal yang masih menjadi tanda tanya baginya. Ia pikir Sino datang menemuinya bukan untuk mengajaknya berkencan dan bersenang-senang. Karena ia rasa, Sino berbeda dengan para hidung belang yang ditemuinya. Sikapnya yang peduli dan tahu apa yang sebenarnya ia rasakan, menunjukkan perbedaan antara dirinya dengan pria tua yang dipanggilnya Om Henry yang sering memintanya untuk melayani nafsu birahi pria itu.
            “Apa yang ingin kau tanyakan?”
            “Apakah kau menjalani kehidupanmu dengan senang hati?”
            “Tentu. Jika tidak, aku enggan untuk menjalani pekerjaanku sebagai pemuas nafsu para hidung belang.”
            “Benarkah?”
            “Maksudmu?”
            “Aku mendapatimu menangis setelah kau berhibungan intim dengan pria tua kemarin.”
            “Apa yang kau lakukan?! Kau mengintipku? Lancang kau! Sebaiknya kau pergi dari sini, bajingan!”
            “Aku bisa menjelaskan semuanya.”
            “Aku tak butuh alasanmu! Dasar kau bajingan!”
            Ria yang tampak kesal dengan pengakuan Sino, terus menerus mengusirnya untuk keluar. Ia tampak telah terlecehkan, bahkan sebenarnya ia sudah terbiasa terlecehkan karena pekerjaannya sebagai pelacur. Tapi kali ini, ia tak percaya bahwa Sino melakukan hal yang lancang dengan membuntuti dirinya yang kala itu sedang bersama dengan pria yang membutuhkan jasanya.
            Sino yang merasa tak dapat meyakinkan Ria bahwa ia memiliki alasan mengapa ia melakukan hal itu, memilih untuk menuruti kata-kata Ria dan berjalan keluar rumah. Ia pun masuk ke dalam mobilnya dan pergi menjauh dari rumah pelacur itu.
            Tampak kesedihan dan kekecewaan yang dirasakan oleh Ria. Ia tanpa daya terkulai lemas dan mengeluarkan air matanya. Sino, yang dipercayanya sebagai pria yang berbeda dari pria lain yang dikenalnya di masa lalunya yang suram, ternyata berani berbuat hal lancang sedemikian. Tak tahukah Sino, bahwa ia yang membuatnya kini hendak meninggalkan dunia gelap yang dijalaninya saat ini? Ia yang membuatnya memiliki kepercayaan lagi bahwa tak semua lelaki selalu merendahkan wanita. Tapi, apa yang didapatnya? Ternyata semua pria sama, benar-benar bajingan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasa yang Hilang

Untuk Engkau yang Kehilangan Jati Diri