E L I J A N A - Ceremony Of December


Karya: Afif Nuur Hidayat
            Merayakan detik-detik pergantian tahun sudah menjadi hal yang lumrah bagi setiap orang di zaman sekarang. Apalagi, bagi para pemuda tentu saat-saat malam tahun baru adalah malam yang istimewa. Entah mereka melewati malam itu dengan sang kekasih ataupun dengan kawan-kawan mereka. Pesta kembang api ataupun berkunjung ke pusat kota untuk menonton konser musik sudah menjadi pilihan yang harus dilewati.
            Peringatan di malam yang dianggap sakral bagi para pemuda itu memiliki arti tersendiri bagi mereka. Ada yang bilang kalau malam tahun baru adalah malam yang tepat untuk cowok mengungkapkan perasaan kepada si cewek, dan ada juga yang bilang kalau malam tahun baru adalah malam yang pas untuk melupakan kegalauan.
            El, Ijan, dan Jana adalah tiga sosok pemuda yang selalu memiliki kreasi dan inovasi di setiap gerak-gerik mereka. Tak terkecuali untuk kali ini, dalam schedule mereka, malam ini akan ada satu kegiatan yang harus dilakukan oleh mereka bertiga. Berbeda dari pemuda lain yang memilih mengadakan pesta kembang api, mereka akan melakukan hal yang jarang dilakukan pada saat malam tahun baru kali ini.
            “Kalian siap untuk malam ini, guys?!” seru El pada Ijan dan Jana.
            “Tentu ... I’m ready, sir!” jawab mereka berdua kompak.
            Mereka bertiga langsung beranjak pergi dari markasnya menuju ke sebuah hutan yang tak jauh dari desa tempat dimana mereka tinggal. Hutan yang konon memiliki aura mistis yang kental itu siap dijelajahi oleh raga mereka. Dengan kondisi yang demikian, El tak lupa membawa jimat pemberian nenek buyutnya untuk berjaga-jaga supaya tak terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan.
            Perbatasan desa dengan hutan sudah mereka lewati. Semak belukar yang menghadang pun dengan singkat tertinggalkan. Kini mereka tiba di wilayah “Pohon Gede”, tempat dimana terdapat pohon-pohon besar yang menyelimuti wilayah hutan itu. Semilir angin yang terasa begitu deras, membuat tubuh terasa dingin dan merinding.
            “Nak, mau kemana kalian?” tanya seorang kakek yang melintas hendak melewati mereka.
            “Mau ke Aula Gede, kek,” jawab El dengan gampang.
            “Oh, kalian dari pohon depan sana, belok aja ke kanan.”
            Selepas itu, kakek itu pun memotong jalan mereka dan dengan cepat berjalan di depan. Meski dengan kaki yang tampak agak pincang, kakek itu masih bisa berjalan dengan cepat. Sontak, hal itu membuat Ijan yang sedari tadi hanya mendengarkan El dan kakek itu bicara, terkejut seketika.
            “Guys ... kakek-kakek yang tadi itu, siapa sih?” tanya Ijan heran.
            “Ahh, itu sih palingan kakek-kakek yang lagi nyari burung. Bukannya tau sendiri kalau sekarang lagi marak orang-orang yang nyari burung malem-malem,” jawab Jana yang mencoba berpikir positif.
            Mereka tanpa henti berjalan menyusuri rimbunnnya hutan yang jarang disinggahi manusia itu. Sudah lebih dari 3 jam mereka menyusuri hutan, namun tak kunjung sampai ke tujuan. Hingga kaki mereka pun merasa enggan untuk melanjutkan perjalanan yang bercahayakan senter dan rembulan.
Banyak orang yang mencoba menjelajahi hutan itu saat malam hari. Namun, tak banyak dari mereka yang dapat kembali ke desa dengan selamat. Konon, kata para sesepuh desa, hutan itu banyak penunggunya. Kabarnya, penunggu di hutan itu tak segan untuk membunuh orang-orang yang melintasi hutan di malam hari. Sungguh kejam ...
“Guys ... Kalian inget gak cerita Mbah Broto kemarin? Katanya, dulu ada seorang warga desa yang sedang mencari kayu bakar disini. Tapi, sampe berhari-hari, orangnya gak pulang-pulang. Terus, 2 minggu kemudian, para warga desa menemukan mayatnya ada di lubang pohon di tengah-tengah Pohon Gede ini,” ucap El.
“Iya, El. Gue inget. Kalau gak salah nih ya ....” ujar Jana.
“Kalau gak salah, apa, Na?” tanya Ijan penasaran.
“Pohon yang ada lubang di batangnya tuh, pohon yang di depan kita itu.”
Jana menunjuk sebuah pohon beringin yang begitu besar dan lebat yang tepat berada di depan mereka. Tampak, sebuah lubang berdiameter 1,5 meter-an yang konon adalah tempat dimana penunggu hutan yang kejam itu tinggal.
Suasana tiba-tiba menjadi senyap. Langkah kaki yang sedari tadi menapak itu, sejenak terhenti dengan sendirinya. Tatapan mata ketiga pemuda itu sekarang menjadi terarah ke satu titik. Angin dingin yang berhembus, membuat bulu kuduk mereka berdiri dengan sekejap.
“Teman-teman ...” ujap Ijan lirih dengan mata yang melotot terkejut dan tangan yang menunjuk ke sebuah sisi pohon beringin yang ada di depan mereka.
“Gila!” ucap El terkejut dengan apa yang dilihat. “Kabur !!!” imbuhnya.
Dengan secepat kilat, mereka bertiga langsung mengambil langkah seribu meninggalkan tempat mereka tadi tercengang setelah melihat sesosok makhluk yang berdiri di depan pohon seolah-olah menanti mereka. Akan tetapi, celaka bagi Ijan. Bukannya ia lari menjauh dari pohon itu, malah ia tanpa sengaja berlari menghampiri sesosok makhluk itu berada.
“Woy ... Ijan! Jangan kesana!” teriak El menyadarkan Ijan. Untungnya, Ijan yang tersadar dan mendengar suara El pun langsung memutar arah larinya yang sempat meleset.
Mereka bertiga kini berlari dengan serentak meninggalkan kawasan Pohon Gede.  Tak terlihat makhluk yang berdiri di depan pohon beringin tadi mengikuti mereka. Hingga lelah melanda mereka yang memaksa untuk berhenti dari laju kaki yang sedari tadi berlari tanpa arah.
“El ... Tempat apaan ini? Kok kita kayak di payungin daun gini?” tanya Jana heran.
“Kita suah sampai di Aula Gede, guys ...” jawab El.
“Jadi ini yang dinamain Aula Gede ... Terus, apa yang akan kita lakuin disini?” tanya Ijan.
“Disini upacara kita akan dilaksanakan,” pungkas El.
Mereka pun mengeluarkan barang-barang yang sedari tadi dibawa dari dalam ransel. Terlihat sebuah keris dan secarik kertas yang bertuliskan mantra gaib berwarna merah darah. Digelarnya secarik kertas yang cukup lebar itu di atas tanah, dan di tancapkannya keris tadi di tengahnya.
El mulai membacakan sebuah mantra yang tak dapat diartikan oleh Ijan dan Jana. Mantra yang cukup panjang dan memakan waktu beberapa menit. Diulang-ulangnya mantra itu oleh El. Akan tetapi, seakan tak tampak sesuatu yang diharapkan oleh mereka akan terjadi.
Semakin sering El membacakan mantra itu, tapi lama-kelamaan El pun bosan dan mulai frustasi akan hal yang dinantikannya.
“Ahh, sial !!! Tak ada apa-apa yang terjadi. Kita tertipu oleh cerita kuno masyarakat desa,” ucap El.
“Bener, El ... Udah lah, kita pulang aja!” ujar Ijan.
Mereka bertiga pun mengemas kembali barang-barang yang tadi dikeluarkan dan beranjak meninggalkan tempat mereka melakukan ritual. El yang mengetahui arah jalan hutan, memimpin di depan Ijan dan Jana. Dengan perasaan kecewa, mereka mulai beranjak keluar dari pintu masuk menuju Aula Gede.
“El, Na, kalian ada di depan gue kan?” tanya Ijan.
“Ya iya. Emang kenapa?” tanya Jana.
“Lah terus, yang ada di belakang gue siapa?” tanya Ijan lagi dengan ketakutan tatkala mengetahui ada seseorang lain di belakang mereka bertiga.
Mereka pun seketika menghentikan langkah kaki setelah mendengar pengakuan dari Ijan. Percaya tak percaya atas apa yang Ijan bicarakan. Tetapi, untuk membuktikannya, El memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Dan dengan betapa kagetnya, ia mendapati kakek yang bertemu di jalan tadi, kini berada di belakangnya.
“Kakek kok bisa ada di sini sih?” tanya El heran.
“Kakek lagi cari burung untuk nanti dijual lagi, nak. Tapi belum dapet-dapet. Sekarang, kakek mau pulang tapi takut kalau sendirian. Jadi, dari tadi kakek ngikutin kalian,” jawab si kakek.
El pun mengijinkan si kakek ikut dengan rombongannya pulang. Meski Ijan dan Jana tampak tak setuju, dengan alasan merasa kasihan kepada si kakek, akhirnya mereka mengijinkannya. Walaupun, tak dapat dipungkiri jika mereka bertiga memiliki perasaan yang tak enak dengan si kakek ini.
Setiba di kawasan Pohon Gede yang menampakkan hal yang tak mengenakkan tadi, si kakek meminta mereka berhenti.
“Nak, sampai sini saja. Rumah kakek sudah dekat,” ujar si kakek.
“Udah dekat? Emang dimana? Kok gak keliatan ada rumah?” tanya El heran.
“Itu disana,” jawab si kakek sambil menunjukkan jarinya yang tak lengkap itu ke arah pohon beringin besar yang menampakkan makhluk halus yang tadi mereka jumpai.
Mereka bertiga tampak tercengang, takut dan tak percaya akan ucapan si kakek yang menunjukkan bahwa pohon itu adalah rumahnya. Dan jika dilihat dari ketampakan fisik si kakek, ia tampak seperti makhluk bungkuk yang tadi terlihat berdiri di depan pohon itu.
“Kalian mau mampir dulu?” tanya si kakek.
“Gak, kek. Makasih,” jawab Jana. “Guys ... Kayaknya dugaan kita tadi benar. Pasti ada yang gak beres tentang kakek ini,” imbuhnya.
“Iya, guys ... Mendingan kita ... KABUUURRRRRRRRR !!!” teriak El.
Mereka pun langsung berlari terbirit-birit setelah mengetahui jika si kakek adalah makhluk halus yang menunggui kawasan Pohon Gede. Ia adalah makhluk yang telah menyesatkan warga desa yang berkeliaran di hutan itu.

“Nak, kalian pada mau kemana? Awas, di depan ada jurang ...”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasa yang Hilang

Story At Night (Part 2)