E L I J A N A - Ceremony Of December
Merayakan detik-detik pergantian tahun sudah menjadi hal
yang lumrah bagi setiap orang di zaman sekarang. Apalagi, bagi para pemuda
tentu saat-saat malam tahun baru adalah malam yang istimewa. Entah mereka
melewati malam itu dengan sang kekasih ataupun dengan kawan-kawan mereka. Pesta
kembang api ataupun berkunjung ke pusat kota untuk menonton konser musik sudah
menjadi pilihan yang harus dilewati.
Peringatan di malam yang dianggap sakral bagi para pemuda itu memiliki arti tersendiri bagi mereka.
Ada yang bilang kalau malam tahun baru adalah malam yang tepat untuk cowok
mengungkapkan perasaan kepada si cewek, dan ada juga yang bilang kalau malam
tahun baru adalah malam yang pas untuk melupakan kegalauan.
El, Ijan, dan Jana adalah tiga sosok pemuda yang selalu memiliki
kreasi dan inovasi di setiap gerak-gerik mereka. Tak terkecuali untuk kali ini,
dalam schedule mereka, malam ini akan
ada satu kegiatan yang harus dilakukan oleh mereka bertiga. Berbeda dari pemuda
lain yang memilih mengadakan pesta kembang api, mereka akan melakukan hal yang
jarang dilakukan pada saat malam tahun baru kali ini.
“Kalian siap untuk malam ini, guys?!” seru El pada Ijan
dan Jana.
“Tentu ... I’m ready, sir!” jawab mereka berdua kompak.
Mereka bertiga langsung beranjak pergi dari markasnya
menuju ke sebuah hutan yang tak jauh dari desa tempat dimana mereka tinggal.
Hutan yang konon memiliki aura mistis yang kental itu siap dijelajahi oleh raga
mereka. Dengan kondisi yang demikian, El tak lupa membawa jimat pemberian nenek buyutnya untuk berjaga-jaga supaya tak
terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan.
Perbatasan desa dengan hutan sudah mereka lewati. Semak
belukar yang menghadang pun dengan singkat tertinggalkan. Kini mereka tiba di
wilayah “Pohon Gede”, tempat dimana terdapat pohon-pohon besar yang menyelimuti
wilayah hutan itu. Semilir angin yang terasa begitu deras, membuat tubuh terasa
dingin dan merinding.
“Nak, mau kemana kalian?” tanya seorang kakek yang
melintas hendak melewati mereka.
“Mau ke Aula Gede, kek,” jawab El dengan gampang.
“Oh, kalian dari pohon depan sana, belok aja ke kanan.”
Selepas itu, kakek itu pun memotong jalan mereka dan
dengan cepat berjalan di depan. Meski dengan kaki yang tampak agak pincang,
kakek itu masih bisa berjalan dengan cepat. Sontak, hal itu membuat Ijan yang
sedari tadi hanya mendengarkan El dan kakek itu bicara, terkejut seketika.
“Guys ... kakek-kakek yang tadi itu, siapa sih?” tanya
Ijan heran.
“Ahh, itu sih palingan kakek-kakek yang lagi nyari
burung. Bukannya tau sendiri kalau sekarang lagi marak orang-orang yang nyari
burung malem-malem,” jawab Jana yang mencoba berpikir positif.
Mereka tanpa henti berjalan menyusuri rimbunnnya hutan
yang jarang disinggahi manusia itu. Sudah lebih dari 3 jam mereka menyusuri
hutan, namun tak kunjung sampai ke tujuan. Hingga kaki mereka pun merasa enggan
untuk melanjutkan perjalanan yang bercahayakan senter dan rembulan.
Banyak
orang yang mencoba menjelajahi hutan itu saat malam hari. Namun, tak banyak
dari mereka yang dapat kembali ke desa dengan selamat. Konon, kata para sesepuh
desa, hutan itu banyak penunggunya. Kabarnya, penunggu di hutan itu tak
segan untuk membunuh orang-orang yang melintasi hutan di malam hari. Sungguh
kejam ...
“Guys
... Kalian inget gak cerita Mbah Broto kemarin? Katanya, dulu ada seorang warga
desa yang sedang mencari kayu bakar disini. Tapi, sampe berhari-hari, orangnya
gak pulang-pulang. Terus, 2 minggu kemudian, para warga desa menemukan mayatnya
ada di lubang pohon di tengah-tengah Pohon Gede ini,” ucap El.
“Iya,
El. Gue inget. Kalau gak salah nih ya ....” ujar Jana.
“Kalau
gak salah, apa, Na?” tanya Ijan penasaran.
“Pohon
yang ada lubang di batangnya tuh, pohon yang di depan kita itu.”
Jana
menunjuk sebuah pohon beringin yang begitu besar dan lebat yang tepat berada di
depan mereka. Tampak, sebuah lubang berdiameter 1,5 meter-an yang konon adalah
tempat dimana penunggu hutan yang kejam itu tinggal.
Suasana
tiba-tiba menjadi senyap. Langkah kaki yang sedari tadi menapak itu, sejenak
terhenti dengan sendirinya. Tatapan mata ketiga pemuda itu sekarang menjadi
terarah ke satu titik. Angin dingin yang berhembus, membuat bulu kuduk mereka
berdiri dengan sekejap.
“Teman-teman
...” ujap Ijan lirih dengan mata yang melotot terkejut dan tangan yang menunjuk
ke sebuah sisi pohon beringin yang ada di depan mereka.
“Gila!”
ucap El terkejut dengan apa yang dilihat. “Kabur !!!” imbuhnya.
Dengan
secepat kilat, mereka bertiga langsung mengambil langkah seribu meninggalkan
tempat mereka tadi tercengang setelah melihat sesosok makhluk yang berdiri di
depan pohon seolah-olah menanti mereka. Akan tetapi, celaka bagi Ijan. Bukannya
ia lari menjauh dari pohon itu, malah ia tanpa sengaja berlari menghampiri
sesosok makhluk itu berada.
“Woy
... Ijan! Jangan kesana!” teriak El menyadarkan Ijan. Untungnya, Ijan yang
tersadar dan mendengar suara El pun langsung memutar arah larinya yang sempat
meleset.
Mereka
bertiga kini berlari dengan serentak meninggalkan kawasan Pohon Gede. Tak terlihat makhluk yang berdiri di depan
pohon beringin tadi mengikuti mereka. Hingga lelah melanda mereka yang memaksa
untuk berhenti dari laju kaki yang sedari tadi berlari tanpa arah.
“El
... Tempat apaan ini? Kok kita kayak di payungin daun gini?” tanya Jana heran.
“Kita
suah sampai di Aula Gede, guys ...” jawab El.
“Jadi
ini yang dinamain Aula Gede ... Terus, apa yang akan kita lakuin disini?” tanya
Ijan.
“Disini
upacara kita akan dilaksanakan,” pungkas El.
Mereka
pun mengeluarkan barang-barang yang sedari tadi dibawa dari dalam ransel.
Terlihat sebuah keris dan secarik kertas yang bertuliskan mantra gaib berwarna merah darah. Digelarnya
secarik kertas yang cukup lebar itu di atas tanah, dan di tancapkannya keris tadi
di tengahnya.
El
mulai membacakan sebuah mantra yang tak dapat diartikan oleh Ijan dan Jana.
Mantra yang cukup panjang dan memakan waktu beberapa menit. Diulang-ulangnya
mantra itu oleh El. Akan tetapi, seakan tak tampak sesuatu yang diharapkan oleh
mereka akan terjadi.
Semakin
sering El membacakan mantra itu, tapi lama-kelamaan El pun bosan dan mulai
frustasi akan hal yang dinantikannya.
“Ahh,
sial !!! Tak ada apa-apa yang terjadi. Kita tertipu oleh cerita kuno masyarakat
desa,” ucap El.
“Bener,
El ... Udah lah, kita pulang aja!” ujar Ijan.
Mereka
bertiga pun mengemas kembali barang-barang yang tadi dikeluarkan dan beranjak
meninggalkan tempat mereka melakukan ritual. El yang mengetahui arah jalan
hutan, memimpin di depan Ijan dan Jana. Dengan perasaan kecewa, mereka mulai
beranjak keluar dari pintu masuk menuju Aula Gede.
“El,
Na, kalian ada di depan gue kan?” tanya Ijan.
“Ya
iya. Emang kenapa?” tanya Jana.
“Lah
terus, yang ada di belakang gue siapa?” tanya Ijan lagi dengan ketakutan tatkala
mengetahui ada seseorang lain di belakang mereka bertiga.
Mereka
pun seketika menghentikan langkah kaki setelah mendengar pengakuan dari Ijan.
Percaya tak percaya atas apa yang Ijan bicarakan. Tetapi, untuk membuktikannya,
El memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Dan dengan betapa kagetnya, ia
mendapati kakek yang bertemu di jalan tadi, kini berada di belakangnya.
“Kakek
kok bisa ada di sini sih?” tanya El heran.
“Kakek
lagi cari burung untuk nanti dijual lagi, nak. Tapi belum dapet-dapet. Sekarang,
kakek mau pulang tapi takut kalau sendirian. Jadi, dari tadi kakek ngikutin
kalian,” jawab si kakek.
El
pun mengijinkan si kakek ikut dengan rombongannya pulang. Meski Ijan dan Jana
tampak tak setuju, dengan alasan merasa kasihan kepada si kakek, akhirnya
mereka mengijinkannya. Walaupun, tak dapat dipungkiri jika mereka bertiga
memiliki perasaan yang tak enak dengan si kakek ini.
Setiba
di kawasan Pohon Gede yang menampakkan hal yang tak mengenakkan tadi, si kakek
meminta mereka berhenti.
“Nak,
sampai sini saja. Rumah kakek sudah dekat,” ujar si kakek.
“Udah
dekat? Emang dimana? Kok gak keliatan ada rumah?” tanya El heran.
“Itu
disana,” jawab si kakek sambil menunjukkan jarinya yang tak lengkap itu ke arah
pohon beringin besar yang menampakkan makhluk halus yang tadi mereka jumpai.
Mereka
bertiga tampak tercengang, takut dan tak percaya akan ucapan si kakek yang
menunjukkan bahwa pohon itu adalah rumahnya. Dan jika dilihat dari ketampakan
fisik si kakek, ia tampak seperti makhluk bungkuk yang tadi terlihat berdiri di
depan pohon itu.
“Kalian
mau mampir dulu?” tanya si kakek.
“Gak,
kek. Makasih,” jawab Jana. “Guys ... Kayaknya dugaan kita tadi benar. Pasti ada
yang gak beres tentang kakek ini,” imbuhnya.
“Iya,
guys ... Mendingan kita ... KABUUURRRRRRRRR !!!” teriak El.
Mereka
pun langsung berlari terbirit-birit setelah mengetahui jika si kakek adalah
makhluk halus yang menunggui kawasan Pohon Gede. Ia adalah makhluk yang telah
menyesatkan warga desa yang berkeliaran di hutan itu.
“Nak,
kalian pada mau kemana? Awas, di depan ada jurang ...”
Komentar
Posting Komentar