Kawan Kecilku

Karya: Afif Nuur Hidayat

Masih terbayang di kala pancaran cahaya mentari yang menyinari pagi itu. Desir angin dengan tetesan embun yang membuat sejuk suasana alam dan hati kecilku. Kulangkahkan kaki menuju tempat dimana ku akan menimba butiran-butiran ilmu bumi dan semesta. Tak jauh jarak yang kuperlukan untuk menempuh tempat itu berada.

Disaat sang panutan memaparkan isi-isi dunia, tak banyak yang kulakukan selain mendengar dan menyimpulkannya dengan kemampuanku yang terbatas akan kesempurnaan ini. Di tingkatan dasar ini pun tak jarang ku bermain dengan sahabat-sahabat yang berada di samping tempat ku menjaringkan diri.

Hingga tiba saat suasana yang baru pernah terjadi. Terlihat sesosok anugerah Tuhan hadir di tengah keramaian yang membisingkan suasana tempat pemburu-pemburu ilmu berada. Sosok yang kebanyakan dari kami baru sekali ini melihatnya. Sosok kecil yang ramah berdiri dengan tenang dan tampak ceria itu memperkenalkan diri pada kami yang penasaran akan identitas yang ia miliki.

“Assalamu’alaikum,” ucapnya pertama kali yang menunjukkan sebagai seorang Muslim tatkala hendak bercakap dengan saudara Muslim lainnya mulai memecah keheningan yang sejenak terjadi.

“Wa’alaikumsalam,” jawab kami bersama.
“Hai, teman-teman. Namaku Nisa Indahyani. Kalian dapat memanggilku Nisa. Salam kenal.”

Nisa, seperti itulah namanya. Nama yang membawaku ke dalam lamunan yang baru sekali itu kualami. Tak dapat kuterka apa yang terjadi pada diriku? Ada apa dengan gejolak di dadaku? Baru pertama kali ini kulihat gadis kecil yang ramah dan penuh ceria itu. Dengan tingkahnya yang lucu, postur tubuhnya yang tak terlalu tinggi bagi anak seumurannya. Tapi, dengan keadaan dirinya yang mungil, ia semakin terlihat menarik dilihat dari dua sisi pandangan mataku.

Ia yang telah selesai dengan orientasinya di depan kelas, dipersilahkan untuk duduk di bangku samping anak gadis lain yang memang masih kosong. Tatkala ia berjalan, kucoba untuk memperhatikannya. Sungguh, begitu lemah gemulainya ia dan tak tampak kesombongan yang ia tunjukkan. Aku tersenyum ketika ia pandangkan wajahnya ke arahku. Dan dengan murah hati, ia pun membalas senyumanku dengan sepenuh hati tanpa menunjukkan keterpaksaan. Kegiatan belajar yang sempat tertunda, kembali dilanjutkan seperti sebelumnya. Kini, sepenuhnya aku memfokuskan pikiranku untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar.

Tiba saat jam istirahat berbunyi. Kumulai tinggalkan lembaran kertas di laci mejaku belajar dan mulai menghampiri gadis yang baru kukenal itu. Ia tampak sedang berbincang dengan temannya yang lain dengan penuh ceria.

“Hai, Nis. Aku Aida. Senang bertemu kamu,” ucapku sambil kuulurkan tangan kananku padanya.
Ia pun turut membalas uluran tanganku.
“Iya, aku Nisa. Senang juga bertemu kamu.”
“Kamu kok bisa pindah kesini?”
“Aku berasal dari Bandung. Ayah dan ibuku pindah kesini, otomatis aku juga harus ikut dengan mereka,” ucapnya penuh dengan senyum.
“Oh, gituh. Kita main yuk?”
“Makasih, tapi aku lagi gak bisa ikut. Soalnya, aku harus nyalin materi yang udah diajarin tadi pagi. Ntar kalo gak nyalin, takut gak bisa ngikutin pelajaran di jam berikutnya.”

Ia menolak ajakanku dengan sangat hati-hati agar tak melukai hatiku. Dengan gaya berbicaranya yang tenang dan santai, membuat telinga ini nyaman mendengar tiap lantunan kata yang ia ucapkan.

Aku pun berlalu meninggalkannya menuju kawan-kawanku yang sedari tadi memang sudah mengajakku bermain. Tak lupa, aku pun sempat tersenyum padanya saat hendak menjauh meninggalkan tempat ia berada. Dan dengan senyuman yang sangat sejuk, ia membalasku.

Hari-hari kulalui dengan kehadiran warna baru di ruang kelasku. Warna cerah yang memberikanku semangat untuk terus berdiri dengan tegak menantang setiap hambatan yang mengganggu di waktuku meraih ilmu. Panutan yang membuatku untuk terus maju dan tersenyum meski kesulitan yang kian mencoba menjatuhkanku.

Jenjang berikutnya, aku masuk di sekolah menengah pertama yang tak jauh pula dari jenjang dasarku berada. Karena jarak yang dekat itu, sebagian besar kawan-kawanku melanjutkan studinya disana. Tak terkecuali juga dengannya.

Hubunganku dengannya kian dekat. Sering ku bercanda ria tatkala aku berbarengan dengannya dikala perjalananku menuju tempat menuntut ilmu. Ya, tak sering kami bertemu dengan sengaja. Dikarenakan kami yang memang berbeda ruang kelas dan juga yang mungkin dari masing-masing kami mulai merasa tumbuh semakin dewasa dan memiliki rasa yang membuat kami tersipu satu sama lain.

“Bagaimana pelajaran tadi siang?” tanyaku melalui pesan singkat yang kukirimkan padanya.
“Alhamdulillah lancar. Kamu sendiri?”
“Syukurlah. Lancar semua. Lagi belajarkah kamu?”
“Iya, ini mau belajar. Ayo, kamu juga belajar tuh ...”
“Iya, iya. Ya udah, ayo belajar,” pungkasku.

Di era teknologi, semakin sering kugunakan ponsel untuk menghubungi seseorang. Tatkala aku tak sempat bertemu langsung ataupun ada hal yang lain, membuatku lebih sering menghubunginya di layanan pesan singkat. Sering juga kubercanda dengannya lewat media elektronik. Tapi, tak jarang pula aku berbincang dengannya saat waktu mengijinkan kami saling bertemu.

Sudah hampir tiga tahun studiku di jenjang menengah pertama. Artinya, sesaat lagi aku akan berpisah dengan kawan-kawan putih biruku dan mulai dengan jenjang berikutnya yang lebih tinggi. Ujian nasional telah kulewati. Tiba saat masa-masa kami para siswa menyiapkan acara pelepasan peserta didik di tahun ajaran kali ini.

Aku yang diberi amanat sebagai ketua kepanitiaan untuk acara pelepasan, dengan segenap kemampuanku menyiapkan semua yang dibutuhkan. Mulai dari pembagian tugas-tugas anggota kepanitiaan, hingga pengumpulan dana yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan acara tersebut.

Anggota kepanitiaan dibentuk dengan mengambil masing-masing 2 perwakilan dari setiap kelas. Tujuannya, agar semua suara siswa tersalurkan dan tak ada yang akan mengalami kerugian karena keputusan yang kami buat.

Nisa dan satu lagi siswa lain menjadi perwakilan kelasnya. Nisa yang kala itu ditugaskan sebagai wakil ketua kepanitiaan, selalu mendampingiku berdiri mendengarkan usulan tiap siswa dan memutuskan usulan yang diterima oleh semua anggota rapat.

“Tinggal satu minggu lagi, tapi dana dari masing-masing siswa belum terkumpul semua. Bagaimana?” tanya Nisa padaku.
“Coba aku lihat laporan keuangannya,” jawabku. “Baru sekitar 60% dana yang terkumpul. Hmm, gimana kalau kita adakan sosialisasi di setiap kelas?”
“Seperti apa yang kamu maksud?”
“Ya intinya kita mengajak semua siswa untuk membayarkan iuran untuk acara pelepasan. Masalahnya, sekolah tak mendanakan acara pelepasan, jadi kita yang harus mandiri untuk mengadakan acara tersebut.”
“Gimana kalau kita cari sponsor?”
“Hmm, besok kita rapat.”
“Baik.”

H-10 acara pelepasan peserta didik akan diselenggarakan. Syukurlah, saat ini dana sudah terkumpul lebih dari 85% dari rencana anggaran. Dan ide untuk mencari sponsor yang diusulkan Nisa, akhirnya didapatkan. Pencairan dana sponsor, direncanakan akan turun di H-7 pelaksanaan. Artinya, dana sebenarnya telah sepenuhnya terkumpul.

“Aida, bagaimana persiapannya?” tanya Pak Anto padaku.
“Tinggal tahap akhir, Pak. Perlengkapan mulai dari sound system, panggung, dan makanan sudah kami deal-kan. Besok, panggung sudah akan didirikan.”
“Syukurlah. Oh iya, siapkan satu perwakilan kelas 9 untuk pidato pelepasan. Juga, nanti panitia akan menampilkan apa saat pelepasan?”
“Kami telah menghubungi Pak Dedi untuk melatih kami paduan suara. Akan ada 12 angota panitia yang akan menyumbangkan suaranya, masing-masing 6 cowok dan 6 cewek.”
“Siip. Terus berjuang yah!” pungkas Pak Anto.

Tiba saat hari dimana acara pelepasan peserta didik kelas 9 diselenggarakan. Segala sesuatu yang telah disiapkan dari sebulan yang lalu, kini akan ditunjukkan. Pagi itu, aku pun berangkat lebih pagi dari biasanya untuk mengecek segala sesuatu yang ditakutkan tertinggal.

“Semangat buat hari ini!” ucapku secara pribadi pada Nisa disaat acara pelepasan akan berlangsung.
“Iya, semangat! Kita tunjukkan kalau kita ini siswa-siswi yang hebat dan mandiri! Kita buat acara ini sukses!”
“Yapz, tentu saja kita akan melakukannya.”

Acara berlangsung sesuai rencana. Sambutan-sambutan dari pihak sekolah, mengapresiasi tinggi apa yang kami para siswa lakukan. Iya, kami secara mandiri yang menyiapkan dan menyelenggarakan acara pelepasan tersebut.

Sangat bangga perasaan kami segenap siswa dapat menyelenggarakan acara sakral itu dengan cukup suskes. Ini berkat kerja keras semua siswa yang telah mencurahkan segenap jiwa dan raga untuk penyelenggaraan acara tersebut.

“Hari ini kita sukses,” tulisku pada pesan singkat yang kukirimkan pada Nisa.
“Iya, Aida. Semoga kita akan tetap bekerja sama seperti ini di lain hari.”
“Kenapa tidak? Kita bisa jika kita lakukan ini bersama.”
“Iya. Semoga masih akan ada waktu dimana kita bisa bersama-sama melangkah. Aamiin.”

Acara pelepasan telah berlalu, kini waktunya kami menanti pengumuman yang akan menentukan lulus atau tidaknya kami. Rasa was-was dan juga optimis berbaur di dalam gelora jiwa. Tak terlewatkan, do’a selalu kupanjatkan kepada Yang Maha Kuasa supaya kami diberikan kelulusan dengan nilai yang memuaskan dan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi.

“Nisa, aku lulus!” ucapku sembari kuhampiri Nisa yang kulihat sedang duduk menyendiri di taman sekolah.
“Iya, Da. Aku juga,” ucapnya dengan diiringi air mata yang menetes dari kedua matanya.
“Kamu kenapa, Nis?”
“Gak kenapa-kenapa. Aku sedang bahagia.”

Air mata yang menetes dari kedua matanya, semakin deras membasahi pipi mungilnya. Aku yang terbawa suasana, perlahan mulai berkaca-kaca. Tapi, tangisnya bukanlah tangis bahagia. Ia menangis sedih. Seperti tangis yang akan mengirinya pergi.

“Nisa ...”
“Iya, ada apa?” ucapnya sembari mengelap air mata yang menetes dengan derasnya.
“Nanti malam, aku ingin mengajakmu jalan-jalan mengelilingi alun-alun kota. Berkenankah kamu?”
“Insyaallah,” pungkasnya dengan mencoba tersenyum.

Tiba saat malam menghampiri. Jam menunjukkan pukul 19.00. Aku bergegas menuju rumah Nisa yang tak jauh dari rumahku. Ia menyambut kedatanganku dengan penuh senyum. Orang tuanya yang mengetahui kedatanganku pun menyambutku dengan sangat terbuka. Aku pun mengutarakan niatku untuk mengajak Nisa ke alun-alun kota. Syukurlah, orang tuanya mengijinkanku dan Nisa untuk pergi. Dengan jarak yang tak jauh dari rumah Nisa, kami pun berjalan kaki menuju alun-alun.

Di pejalanan, mulanya kami tak banyak bicara. Tampak ia lebih sering menunduk meski kami berjalan berdampingan. Ini pertama kalinya aku mengajaknya pergi. Mungkin, ia pun merasa seperti yang aku rasakan.

“Nis ...”
Ia menengadahkan mukanya dan menatap dengan tanya ke arahku.
“Ini pertama kalinya aku pergi sama cewek.”
“Aku pun begitu. Kamu teman cowok pertama yang mengajakku pergi. Jadi, maaf kalau aku ngerasa canggung.”
“Gak apa-apa kok.”

Sampailah kami pada tempat tujuan. Mulanya, aku tak tahu apa yang akan kulakukan saat kami tiba. Kulihat beberapa pasangan muda-mudi berdatangan. Mereka duduk bersandingan di bangku yang tersedia disana.

“Kita duduk-duduk dulu yuk,” ajakku padanya.
“Yuk ...”

Kami pun duduk bersama di salah satu sudut alun-alun kota. Mulai hilang rasa canggung di antara kami berdua. Candaan-candaan ringan akhirnya terlontar di antara kita. Aroma jagung bakar yang tercium dari samping kami berada, membuat kami tergoda untuk mencicipinya.

“Nis, lihat tuh ... Banyak bintang yang bersinar di malam ini. Bulan pun seperti tersenyum melihat kita.”
“Mana ada bulan bisa senyum? Huuu ...”

“Lah itu ... Sinarnya yang terang menandakan ia pun sedang bahagia di malam ini.”
“Seperti kita ya?” ucapnya lirih
“Sepertinya begitu.”

Kulihat ia memandangi bulan purnama yang dengan indahnya menyinari malam ditemani para bintang. Ia tersenyum manis.

Namun, perlahan kudapati air mata yang menetes dari kedua matanya. Aku diam dan penuh tanya. Ia membasuh air mata yang jatuh di pipi.

“Kamu kenapa, Nis?”
“Nggak kenapa-kenapa. Aku bahagia.”
“Kalau bahagia, kenapa kamu menangis?”
“Aku memang akan menangis jika aku bahagia.”

Suasana menjadi hening sejenak. Keramaian yang terjadi di alun-alun kota, serasa tak terdengar saat itu.

“Aida ...”
“Iya, Nis?”
“Aku akan melanjutkan sekolahku di Bandung. Menemani tante dan nenekku di sana.”
“Kamu kuat, Nis. Kamu pasti bisa melakukannya!”
“Aku takut gak bisa ketemu sama teman-temanku lagi. Gak bisa ketemu sama kamu.”
“Jangan takut. Kita pasti akan ketemu lagi, Tuhan Maha Penyayang. Ia tak akan memisahkan hamba-Nya dengan orang-orang yang disayanginya.”
“Semoga begitu. Aamiin ...”

Tampak air mata masih mengalir, bertambah deras membasahi pipi. Ia seperti tak dapat membendungnya dan membiarkannya menetes. Aku sandarkan ia ke bahuku dengan tujuan dapat kutenangkan gejolak yang ada di hatinya.

Syukurlah, perlahan ia dapat menenangkan suasana hatinya. Dan air matanya kini semakin surut.

“Nis, kamu inget gak pas kita pertama ketemu?”
“Waktu SD dulu?”
“Iya, waktu itu lagi pelajaran Bahasa Indonesia. Kamu tiba-tiba datang ke kelasku. Aku sempat penasaran, siapa sih kamu? Hingga kamu pun mengenalkan dirimu secara formal di depan teman-teman yang lain.”
“Iya. Kamu duduk di depan sendiri dan tampak bingung waktu itu. Tau gak? Raut mukamu sangat lucu waktu itu.”
“Aku ini kan emang lucu. Hehee ...”
“Iya deh, lucu banget ...”
“Setelah itu, aku mengajak kamu kenalan secara pribadi.”
“Kamu tampak sangat malu-malu waktu itu.”

Kami flashbackkan diri ke awal dimana kami bertemu satu sama lain. Ia masih tetap bersandar di bahuku. Aku dapat rasakan bagaimana suasana hatinya yang sejuk ketika kami bercerita tentang masa kecil kami. Masa dimana kami bermain dan bercanda bersama. Semua kami lakukan dengan penuh ceria.

Kini, kami berada di ujung waktu sebelum kami akan melanjutkan jenjang kehidupan kami masing-masing. Terasa begitu indah, namun juga haru mengiringi waktu dimana kami akan berpisah untuk beberapa saat.

Malam itu, kami pun pulang dengan penuh canda dan tawa yang mengiringi. Tak terlihat lagi kesedihan yang ia rasakan. Begitu pula akan kekhawatiranku tentang keadaan dimana kami akan berjauhan.

“Aku pulang dulu yah. Terimakasih untuk waktumu. Senang bisa pergi sama kamu.”
“Iya, sama-sama. Aku juga senang. Hati-hati di jalan ya.”
“Okeh. Selamat malam. Langsung tidur loh.”
“Iya, kamu juga.”

-- -- --

Hari ini adalah hari dimana pengumuman penerimaan peserta didik baru. Penuh optimisme dalam diriku untuk mengetahui apakah aku diterima atau tidak di sekolah menengah atas tujuanku. Do’a selalu kupanjatkan atas hasil yang terbaik bagiku.

Puji syukur aku panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, namaku tercantum dalam daftar siswa yang diterima di sekolah baruku itu. Langsung aku kabari orang tuaku akan keberhasilanku. Aku juga kabarkan hal itu kepadanya. Kepada Nisa, sosok yang menjadi penyemangat bagiku menjalani kehidupan. Dia yang tak pernah lelah memberiku semangat dan motivasi saatku menghadapi sebuah kesulitan. Dia yang mengajarkanku untuk selalu tersenyum dan mengatakan jika aku pasti bisa menghadapi setiap tantangan yang menghadang.

Sebuah pesan singkat aku layangkan padanya,

Kepada: Nisa

Nis, apa kabar? Alhamdulillah aku diterima di sini. Dan besok aku sudah mulai berangkat untuk menyiapkan segala sesuatu yang harus kubawa saat MOPDB. Senang rasanya.

Lama kunanti balasan darinya. Disamping itu, aku pun berlalu meninggalkan sekolahku berada. Ku berjalan menyusuri setiap sudut kota yang akan membawaku ke tempat aku menggantungkan hidup pada kedua malaikatku. Hingga 2 jam kemudian setelah aku membaringkan tubuh lemahku, terlihat pesan masuk dari seseorang yang memang kunanti.

Dari: Nisa

Wahh ... Selamat yahh... Nanti aku akan nusul deh, setelah aku sampai di Bandung aku langsung akan mendaftarkan diriku di SMA disana.

“Ke Bandung? Apa ia sudah berangkat kesana?” besitku dalam hati. Aku yang tak kuasa menahan gejolak di dada, kuhubungi dirinya.

“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Nis, apa kamu sudah berangkat ke Bandung?”
“Iya, ini lagi di jalan.”
“Kenapa kamu gak bilang kalau berangkat hari ini?”
Suasana menjadi hening sejenak. Tak ada jawaban sampai kutanyakan padanya untuk kedua kali.
“Nis?”
“Maaf, aku gak mau ngrepotin kamu. Gak ada maksud buat gak mau ngabarin kamu, beneran. Aku ngerasa beginilah cara kita berpisah. Banyak kenangan yang telah kita lalui dari kecil dulu. Aku tak ingin melihatmu bersedih karenaku lagi.”
“Baiklah kalau begitu, jaga dirimu baik-baik ya. Selamat berjuang! Fighting!” “Iya. Fighting!” pungkasnya.

Di setiap perjalanannya, aku masih sempatkan beberapa kali menghubungi dirinya. Meski masalah jaringan sering menghambat komunikasi kami, tapi ia tetap berusaha untuk terus membalas setiap pesan singkat yang kukirimkan padanya. Pernah ia berkata jika ia lelah seharian duduk terus di dalam mobil. Saat kejenuhan melandanya, dengan sebisaku kuhibur ia dengan candaan ringan yang biasa kami lakukan dahulu.

Saat ia tiba di Bandung dan mulai memaskuki dunia belajarnya di jenjang yang lebih tinggi, kesibukan-kesibukan terus melanda dirinya. Tak terkecuali denganku. Semakin jarang kami berkomunikasi. Tapi, jika ada waktu senggang diantara kita, pasti komunikasi akan selalu terjalin.

“Nis, aku rindu padamu.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasa yang Hilang

Untuk Engkau yang Kehilangan Jati Diri