Romansa Tanah Pesisir

Romansa Tanah Pesisir
Karya : Afif Nuur Hidayat
Desir angin dan indahnya ombak lautan tak henti kunikmati bersama langkah kaki yang senantiasa terus berjalan mengitari tanah pesisir di selatan Pulau Jawa. Ya, di Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di pantai yang cukup terkenal akan ombaknya yang bergemulai dengan derasnya, Parangtritis, kunantikan diri hingga kusambut cahaya senja.
            Sudah seharian kuhabiskan waktuku di pantai yang indah ini. Tanpa alas kaki, kutapaki pasir-pasir pantai dengan irama yang syahdu mengiringi siulan angin yang berhembus, menyanyi dan bersenandung ria.
            Keindahan Parangtritis memang masih kalah dengan Pantai Kuta yang dua bulan lalu baru saja kukunjungi. Pantai yang terletak di Pulau Bali itu, menyuguhkan berbagai euforia yang menyejukkan mata. Terlebih, para turis mancanegara yang tak sungkan memakai pakaian bikini, membuat mata ini tanpa diberi komando pun bergeliat kesana-kemari. Mungkin beginilah aku, masyarakat Pribumi yang tak biasa melihat pemandangan seperti itu, tentu akan menjadi hal unik dan jarang kutemui di Tanah Air tercinta.
            Tetapi, Parangtritis bukanlah Pantai Kuta di Bali. Parangtritis terletak di Pulau Jawa, terlebih lagi di daerah kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono. Wisatawan yang mengunjungi pantai ini pun tak banyak yang berasal dari mancanegara. Tentu mereka berbusana dengan memperhatikan budaya lokal.
            “Bagaimana dengan suasana di pantai ini?” tanya Zul kepadaku yang memang baru pertama kali ini berkunjung ke Parangtritis.
            “Ini tak kalah hebatnya dengan Kuta, Zul. Fantastis!” jawabku.
            “Tentu. Parangtritis merupakan salah satu dari sekian pantai yang terkenal di Jawa. Sayang sekali, Wan, tempat kita diselimuti pegunungan yang mengitari desa. Kita jadi tak dapat merasakan indahnya pantai setiap hari.”
            “Ah, sudahlah. Yang penting kita kan sekarang sedang merasakan suasana pantai, nikmati saja liburan kita ini,” pungkasku.
            Kutinggalkan perbincangan kami dan kembali menyusuri tepi. Hingga matahari hampir terbenam pun, aku masih berjalan mengikuti setiap langkah kaki. Langkah yang kan membawa diriku menuju kedamaian hati yang mungkin akan kutemui.
 Hingga tak terasa, malam kini telah tiba. Lentera pun telah nyala dari lingkaran perapian. Kayu bakar yang telah ditata meruncing ke langit membentuk sumbu ke bagian ujungnya, telah terbakar oleh sepercik api yang kian membesar diakibatkan tumpahan bahan bakar yang sengaja dituang ke setiap bagian tatanan kayu itu.
            Sungguh malam yang indah ditemani hangatnya api unggun serta gemuruh ombak lautan. Langit yang cerah berbintang pun tak mau kalah mengisi malam yang akan penuh canda dan tawa. Malam yang akan terisi oleh kehangatan cinta dari sang alam.
            “Hei ...” suara seorang wanita mengagetkanku tatkala aku memperhatikan sebuah bintang yang bersinar cukup terang di angkasa. Sebuah bintang yang seolah-olah menyampaikan salam kehangatan dari semesta.
            “Ternyata kau, An. Ada apa?”
            “Tak apa. Hanya saja, dari tadi kuperhatikan, kamu selalu menatap seorang diri ke langit. Apa yang kau pikirkan?”
            “Bukan apa-apa. Aku hanya berpikir jika malam ini adalah malam yang indah. Apa kau juga berpikir demikian?”
            “Aku pun berpikir begitu. Tapi, masih ada satu hal yang mungkin tak kunjung aku dapati hingga saat malam ini, meski dahulu sering kuhabiskan waktuku ditemani sebuah bintang yang terang itu.”
            “Apa itu?” tanyaku heran.
            “Saat dimana sang bulan kian mendekat kepadanya,” jawab Ana.
            Kupalingkan wajahku, dan kutatap ia dengan penuh tanya akan arti kata yang ia ucapkan. Tampak ia hanya tersenyum dan kini mengikutiku memandangi langit yang cerah akan pancaran sinar rembulan.
            “Bagaimana dengan jalan-jalan di pantai saat malam hari?” tanya ia kepadaku.
            “Sepertinya itu ide yang bagus,” jawabku.
Ia beranjak dari tempat singgahnya dan mulai berjalan menyusuri tepi yang bermandikan cahaya sang bulan. Dan aku pun lantas mengikuti irama langkahnya hingga menemukan kedamaian di antara kami. Kedamaian yang telah lama dirindukan hingga kini akhirnya kembali.
Tak kunjung kutemui sepatah kata yang akan mengantarkan kami ke jalan cerita yang dikehendaki. Tak lain hanya suara ombak yang hingga saat ini menjadi saksi kebisuan akan dua insan yang terjebak dalam romansa yang semakin menenggelamkan hati ke gejolak rasa yang menyesakkan dada.
Sampai pada saat dimana kami menghentikan ayunan kaki seiring desir ombak yang semakin gemuruh terasa. Ia yang tak kunjung membalikkan tubuhnya ke arahku, seolah-olah menanti jiwanya terpanggil akan ucapan yang halus menyapa.
“Sudahkah sang bulan mendekati bintangnya?” tanyaku.
“Apa kau tahu? Ibarat sang bulan yang selalu mengitari kehidupan, sang bintang hanya dapat menunggu hingga tiba saatnya mereka dipertemukan pada suatu malam,” jawabnya.
“Dan saat malam-malam tanpa kehadiran sang bintang menemani perjalanannya, ia selalu merindukan saat-saat ia disatukan kembali walaupun itu hanya sesaat. Meski begitu, ia percaya bahwa mereka pasti akan bertemu kembali. Karena itu, ia selalu setia hingga waktunya tiba,” ujarku seraya telah memahami maksud dari perkataannya.
“Kau benar, Wan. Sekarang waktu itu memang ada. Waktu di mana kita dipertemukan kembali sejak saat kau memilih untuk menyambung hidupmu di daerah pertambangan nan jauh di timur sana.”
“Perjalanan hidupku memang syarat akan jarak yang memaksaku berpisah dengan catatan kehidupanku dahulu. Tapi, meski begitu, tak terlintas sedikitpun ingatanku untuk menghapus setiap memori-memori yang telah lama tersimpan. Terlebih lagi, memori akan asmara yang sudah aku rasakan sejak 7 tahun yang lalu. Ana ... sekarang waktuku tiba kembali di tanah Jawa, tanah yang mempertemukan kita untuk pertama kalinya saat bersama-sama menimba ilmu. Aku kini telah berpenghasilan cukup untuk membina rumah tangga. Aku ingin mempersuntingmu untuk menjadi yang pertama dan terakhir di hidupku.”
Senandung niatan kasih terucap dari tulusnya hati yang terbalut kesetiaan penantian yang harus terpisah karena jarak yang membentang. Waktu yang tak sebentar pun dilalui demi kepantasan diri menjadi yang terbaik bagi ia yang kuidamkan.
Meski harus banyak hari lagi yang mesti kulalui, tak membuatku berubah pikiran akan tujuan yang mendasar bagiku untuk menjadi yang lebih pantas, hingga paling baik untuknya.
Tampak pancaran mata yang memantulkan cahaya bulan dari seorang pujaan, hingga sebutir titik kasih yang menetes dari matanya yang indah. Tak dapat aku jawab apa yang ada di balik air matanya.
Tepatkah sekarang aku katakan pertanggungjawabanku atas gelora asmara yang memang sudah terjadi sejak dahulu? Atau mungkin, terlalu dini ini semua bagiku? Tapi, ini sudah menjadi tujuanku pulang ke tanah Jawa setelah bertahun-tahun kupantaskan diriku untuk menjadi pelabuhan terakhirnya.
“Tatkala sang bintang tak ditemani rembulan yang dinantinya, ada saat dimana ia merasakan keputus-asaan atas penantiannya. Mungkin itulah yang dikatakan bintang lain kepadaku,” ucapnya.
Diam dan seakan terkunci mulutku untuk bertutur kata. Badan ini pun terasa lemas seakan hendak tergeletak jatuh ke hamparan pasir bisu yang seolah-olah bersaksi. Denyut jantung yang sedari tadi berdetak kencang, kini serasa berhenti untuk bertabuh.
“Iwan, andaikan dua tahun lalu kau telah pulang ke tanah kita, mungkin sekarang aku telah bersanding di sisimu. Aku percaya kepadamu, tapi ayah dan ibuku tak berpikir demikian. Zul ... ia yang kini selalu ada di sini. Ayah dan ibuku percaya kepadanya. Maafkan aku, Wan,” pungkasnya.

Seharusnya aku menduga akan hal ini. Bahkan, dari balasan pesan yang Zul kirimkan saat akhir tahun kepadaku. Pesan yang membawaku kembali ke tanah Jawa akan perayaan kebahagiaannya yang mengajakku berlibur ke tanah pesisir Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasa yang Hilang

Untuk Engkau yang Kehilangan Jati Diri